Pagi itu, udara terasa segar setelah hujan semalam. Embun masih menempel di ujung daun, dan suara ayam peliharaan mulai ramai di belakang rumah. Gadis itu baru saja selesai menyapu halaman saat ibunya memanggil dari dalam rumah.
“Ndok… ada tamu.”
Ia melangkah ke ruang tamu dengan langkah santai. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Di sana, lelaki itu duduk rapi, mengenakan kemeja putih yang jarang dipakainya, celana hitam, dan wajah yang sedikit pucat mungkin karena gugup. Di sampingnya, ada dua orang: ibunya, dan seorang paman dari kota.
Gadis itu tercekat. Pandangan mereka bertemu. Lelaki itu tidak senyum seperti biasa wajahnya serius, tapi matanya tetap hangat.
“Aku datang… bukan cuma untuk ngobrol atau ngopi,” katanya pelan. “Aku datang untuk minta izin.”
Gadis itu menelan ludah. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku tahu hidup kita nggak mewah, nggak sempurna. Tapi aku mau kita jalanin bareng. Aku mau bangun pagi dan ngelihat kamu lagi masak air. Aku mau sore-sore duduk di teras sambil melihat masa depan. Aku mau punya rumah kecil, yang setiap sudutnya ada kamu.”
Ibunya gadis itu menoleh pelan. Tidak kaget, tapi ada air yang menggenang di matanya juga.
“Ndok… kamu gimana?” tanya ibunya lembut.
Gadis itu menunduk sebentar. Lalu melangkah pelan ke depan lelaki itu.
“Aku pernah ragu sama cinta, pernah takut mulai dari awal. Tapi kamu… kamu bukan awal, kamu rumah,” katanya dengan suara bergetar. “Kalau kamu siap hidup bareng aku dengan semua ketidaksempurnaan aku siap juga.”
Lelaki itu tersenyum, dan kali ini senyum itu penuh lega.
Tak ada cincin mewah hari itu. Tapi ada genggaman yang erat. Ada peluk haru dari keluarga. Dan ada suara hati yang tahu: ini bukan akhir dari kisah, ini baru permulaan.
Hari-hari setelah lamaran berjalan cepat. Kampung mulai ramai dengan kabar. Tetangga yang biasanya hanya menyapa kini mulai bertanya, “Undangannya kapan, Mbak?” atau “Wah, Mas-nya cocok banget sama dia, lho!”
Di rumah gadis itu, aktivitas mulai padat. Ibunya sibuk mencatat daftar tamu, adiknya menggambar denah kursi dari kardus bekas, dan gadis itu sendiri bolak-balik ke tukang jahit sambil membawa contoh model kebaya dari ponsel.
Tapi di balik itu semua, ada percakapan-percakapan kecil yang lebih penting dari seribu dekorasi.
“Aku mau acaranya sederhana aja ya, yang penting sah,” katanya saat duduk berdua di bawah pohon mangga di belakang rumah.
Lelaki itu mengangguk. “Aku juga. Yang penting kita berdua, keluarga, dan doa-doa baik dari orang sekitar.”
Tapi ternyata tak semuanya mudah. Ada satu malam di mana mereka duduk agak jauh. Suasana hening.
“Aku kepikiran soal Reno,” gadis itu akhirnya berkata.
Lelaki itu menoleh, pelan. “Masih ada rasa?”
Gadis itu menggeleng. “Bukan itu. Tapi… aku nggak enak kalau dia dengar kabar ini dari orang lain. Kita dulu pernah terlalu dekat untuk mengakhirinya dengan diam-diam.”
Keesokan harinya, gadis itu menulis surat. Bukan panjang, hanya beberapa kalimat. Tapi cukup untuk menyampaikan: bahwa hatinya sudah berpulang, dan bahwa ia berharap masa lalu bisa tetap dikenang, bukan digenggam.
Sementara itu, lelaki itu mulai merenovasi kamar depan di rumah ibunya. Sederhana saja cat ulang, rak buku kecil, dan ranjang kayu yang ia buat sendiri bersama pamannya. Setiap paku yang ia ketuk, seolah ia menancapkan harapan untuk hari-hari baru yang akan mereka jalani bersama.
Malam sebelum hari H, mereka berbicara lewat jendela yang bersebelahan, seperti dua anak remaja dulu.
“Kamu siap?” tanya lelaki itu pelan.
Gadis itu tersenyum, menatap langit yang penuh bintang.
“Lebih dari siap. Karena kali ini, aku nggak datang karena luka… aku datang karena aku sudah pulih, dan ingin memulai hidup baru bareng kamu.”
---
Hari pernikahan tinggal sepuluh hari lagi.
Kebaya sudah dijahit rapi, undangan sebagian sudah disebar, dan menu catering sudah dicicipi. Tapi justru di saat segalanya mulai siap, hati mereka malah mulai gelisah.
Malam itu, gadis itu duduk sendirian di dapur, menggenggam cangkir teh yang tak lagi panas. Ibunya sudah tidur, dan rumah sunyi. Ia membuka pesan lama percakapan terakhir dengan Reno. Tidak untuk membuka luka, tapi sekadar memastikan bahwa hatinya tidak salah pilih.
Dan saat itu juga, notifikasi masuk. Nama yang muncul membuat jantungnya sejenak berhenti berdetak.
Reno: “Boleh ketemu sebentar?”
Gadis itu menatap layar lama sekali. Tak dibalas, tapi juga tak dihapus.
Sementara di rumah lelaki itu, suasana tak kalah rumit. Ia baru pulang dari warung saat melihat seseorang duduk di pinggir jalan, di bawah lampu jalan yang remang.
Reno.
“Aku nggak datang buat ganggu,” katanya pelan. “Aku cuma mau bilang… kalau aku nyesel.”
Lelaki itu tak menjawab. Tapi genggaman tangannya di kantong celana mengepal.
“Dia gadis baik, dan aku tahu kamu juga. Tapi kalau besok-besok dia lihat ke belakang, dan ternyata masih ada aku dalam bayangannya, kamu siap?”
Kalimat itu seperti hantaman. Bukan karena ia takut kehilangan, tapi karena ia tahu: cinta bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang ketulusan menerima apa adanya termasuk masa lalu yang tak bisa dihapus.
---
Tiga hari sebelum pernikahan, mereka bertemu di tempat biasa pematang sawah yang dulu sering jadi saksi diam-diam mereka.
Gadis itu menatapnya dengan mata merah karena kurang tidur.
“Aku ketemu Reno,” katanya jujur.
Lelaki itu mengangguk. “Aku juga.”
Sunyi sebentar.
“Masih yakin sama aku?” tanyanya, nyaris berbisik.
Lelaki itu tak menjawab cepat. Ia menatap ke arah langit, lalu kembali ke wajah gadis yang kini akan menjadi istrinya.
“Aku nggak pernah setakut ini dalam hidupku,” ujarnya, jujur. “Tapi justru karena itu aku tahu, kamu penting banget. Kalau nggak, aku nggak akan segelisah ini.”
Gadis itu tertawa kecil, getir. “Aku juga takut. Tapi lebih takut kalau kita menyerah cuma karena masa lalu yang belum benar-benar pergi.”
Dan di bawah langit senja, mereka saling menggenggam tangan. Lebih erat dari sebelumnya. Bukan karena cinta yang membara, tapi karena keputusan yang sudah bulat.
Mereka tahu, cinta yang besar bukan tentang siapa yang paling indah di ingatan, tapi siapa yang paling kuat untuk berjalan bersama di masa depan.
TAMAT
***
"berbunga dan mekarlah bersama indah nya mentari pagi",