GUGUR DALAM DIAM

kelopak bunga itu jatuh

dari senja yang patah
menimpa daun cempaka  
seperti rindu yang tak sempat  
terucap

Angin berbisik  
tentang halaman rumah  
yang kini jadi puing rindu
Berbisik pada kenangan  
yang gagal jadi sejarah  


Dan waktu...
Diam seribu bahasa
mengunyah sunyi  
sampai tak tersisa  
kecuali bayangmu  
di ranting senja yang padam

SENDU

Matahari Senja
Bagai fatamorgana di tengah sepinya gurun sahara,

menari dalam cahaya lembut,"

menggoda setiap langkah yang sudah letih.

Dan di sana, di ujung langit yang pudar,
cerita-cerita yang tak pernah terucap,
berbisik dalam bait yang sendu 
tersimpan di balik awan,

seperti kenangan yang tak mau pergi."

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.1


Di sebuah desa yang sederhana, hiduplah seorang remaja yang berbeda dari teman-teman sebayanya. Ia bukan anak yang tumbuh dengan kemewahan, bukan pula yang punya waktu untuk bersenang-senang seperti remaja lain nya. Namun, satu hal yang tak pernah hilang darinya: semangat dan harapan bangkit bersama kasih sayang bunda nya.
---
Ayah dan ibunya menyayanginya dengan sepenuh hati, meski mereka tak bisa memberikan segalanya. Mereka bukan keluarga kaya, tapi cinta di rumah itu tak pernah kurang. Setiap pagi, remaja ini bangun lebih awal dari teman-temannya. Bukan untuk bermain, tapi untuk membantu ibunya di sawah. Tangannya yang kecil terbiasa menggenggam cangkul dan mencabuti rumput, bukan memegang gadget atau menikmati kopi di kafe seperti anak kota nan jauh di sana.

Hidupnya sederhana, tapi cita-citanya besar. Dalam diamnya, ia sering menatap langit sambil berdoa, berharap suatu hari nanti bisa mengubah nasib keluarganya. Ia ingin melihat senyum bangga di wajah ayah dan ibunya. Ia ingin membahagiakan mereka, membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik. Dan jauh di lubuk hatinya, ia juga berharap bisa menemukan pasangan hidup yang bisa menerima dirinya dengan hati yan tulus. yang bisa berjalan bersamanya dalam suka dan duka.

Remaja ini tahu, jalan yang ia tempuh tak mudah. Tapi ia percaya, kerja keras dan doa takkan pernah sia-sia. Di tengah semua keterbatasan, ia terus melangkah. Bukan karena terpaksa, tapi karena cinta cinta pada keluarga, pada harapan, dan pada masa depan yang ia impikan

---

Fajar belum benar-benar merekah. Kabut tipis masih menggantung di atas pematang. Dingin pagi menembus kain tipis yang membungkus tubuhnya, tapi ia sudah berdiri di tepi sawah bersama ibunya. Tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, hanya helaan napas pelan yang dihembuskan dengan penuh ketabahan.

"Ibu, mulai dari sini ya?" tanyanya pelan, sambil menggulung celana sampai ke lutut.

Ibunya mengangguk, wajahnya lelah tapi hangat. Mereka tahu, hari ini akan panjang. Tapi juga tahu, mereka tak sendiri selalu berdua dalam perjuangan yang sunyi ini.

Sambil mencabuti rumput liar dan merapikan tangkai-tangkai padi, pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan suatu hari nanti bisa melihat ibunya duduk santai di teras rumah yang lebih baik. Tak lagi harus membungkuk di sawah, tak lagi harus menyimpan rasa sakit di pinggangnya yang mulai menua. Ia ingin mengubah segalanya walau saat ini, belum tahu caranya.

Di sekolah, ia tidak seperti teman-teman lainnya. Tidak punya sepatu baru, tidak bisa ikut les tambahan, apalagi main ke kota. Tapi ia tidak iri. Dalam diam, ia justru belajar melihat dunia dari sisi lain. Sisi yang mengajarkan bahwa bahagia bukan soal punya banyak, tapi tahu caranya bersyukur.

Hari itu pun berlalu. Setelah matahari tinggi, ia pulang ke rumah membawa nasi sisa dan dua ikat bayam. Ia tak malu. Justru ia bangga, karena semua itu hasil tangannya sendiri. Di dalam hatinya, ia menyimpan satu keyakinan: bahwa langkah kecil hari ini akan jadi pondasi besar untuk masa depan.

Dan malam itu, sebelum tidur, ia kembali menatap langit dari jendela kamar mungilnya.

“Semoga esok membawa harapan baru,” gumamnya lirih.


Bersambung....


BOCAH BOCAH KESEPIAN

Bocah-bocah kesepian  
menangis di sudut kota,  
air mata mereka mengalir  
ke selokan-selokan yang tak peduli.  

Bocah-bocah kesepian  
berjalan di jalanan sunyi,  
kaki kecil mereka menginjak  
reruntuhan mimpi yang hancur.  

Bocah-bocah kesepian  
tidur di bawah jembatan,  
dihantui dingin malam  
dan suara-suara yang tak pernah menjawab.  

Bocah-bocah kesepian  
memandang langit kelam,  
bertanya pada bintang-bintang bisu,  
"Apakah ada yang masih ingat kami?"  

Bocah-bocah kesepian  
menjadi bayangan yang hilang,  
tersapu angin, lenyap ditelan waktu,  
tanpa jejak, tanpa suara.  

Bocah-bocah kesepian  
adalah kita yang dulu,  
tersesat dalam dunia  
yang tak pernah sungguh-sungguh memeluk.  

Harapan yang tak Pernah pupus...eps.11

Pagi itu, udara terasa segar setelah hujan semalam. Embun masih menempel di ujung daun, dan suara ayam peliharaan mulai ramai di belakang rumah. Gadis itu baru saja selesai menyapu halaman saat ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Ndok… ada tamu.”

Ia melangkah ke ruang tamu dengan langkah santai. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Di sana, lelaki itu duduk rapi, mengenakan kemeja putih yang jarang dipakainya, celana hitam, dan wajah yang sedikit pucat mungkin karena gugup. Di sampingnya, ada dua orang: ibunya, dan seorang paman dari kota.

Gadis itu tercekat. Pandangan mereka bertemu. Lelaki itu tidak senyum seperti biasa wajahnya serius, tapi matanya tetap hangat.

“Aku datang… bukan cuma untuk ngobrol atau ngopi,” katanya pelan. “Aku datang untuk minta izin.”

Gadis itu menelan ludah. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku tahu hidup kita nggak mewah, nggak sempurna. Tapi aku mau kita jalanin bareng. Aku mau bangun pagi dan ngelihat kamu lagi masak air. Aku mau sore-sore duduk di teras sambil melihat masa depan. Aku mau punya rumah kecil, yang setiap sudutnya ada kamu.”

Ibunya gadis itu menoleh pelan. Tidak kaget, tapi ada air yang menggenang di matanya juga.

“Ndok… kamu gimana?” tanya ibunya lembut.

Gadis itu menunduk sebentar. Lalu melangkah pelan ke depan lelaki itu.

“Aku pernah ragu sama cinta, pernah takut mulai dari awal. Tapi kamu… kamu bukan awal, kamu rumah,” katanya dengan suara bergetar. “Kalau kamu siap hidup bareng aku dengan semua ketidaksempurnaan aku siap juga.”

Lelaki itu tersenyum, dan kali ini senyum itu penuh lega.

Tak ada cincin mewah hari itu. Tapi ada genggaman yang erat. Ada peluk haru dari keluarga. Dan ada suara hati yang tahu: ini bukan akhir dari kisah, ini baru permulaan.


Hari-hari setelah lamaran berjalan cepat. Kampung mulai ramai dengan kabar. Tetangga yang biasanya hanya menyapa kini mulai bertanya, “Undangannya kapan, Mbak?” atau “Wah, Mas-nya cocok banget sama dia, lho!”

Di rumah gadis itu, aktivitas mulai padat. Ibunya sibuk mencatat daftar tamu, adiknya menggambar denah kursi dari kardus bekas, dan gadis itu sendiri bolak-balik ke tukang jahit sambil membawa contoh model kebaya dari ponsel.

Tapi di balik itu semua, ada percakapan-percakapan kecil yang lebih penting dari seribu dekorasi.

“Aku mau acaranya sederhana aja ya, yang penting sah,” katanya saat duduk berdua di bawah pohon mangga di belakang rumah.

Lelaki itu mengangguk. “Aku juga. Yang penting kita berdua, keluarga, dan doa-doa baik dari orang sekitar.”

Tapi ternyata tak semuanya mudah. Ada satu malam di mana mereka duduk agak jauh. Suasana hening.

“Aku kepikiran soal Reno,” gadis itu akhirnya berkata.

Lelaki itu menoleh, pelan. “Masih ada rasa?”

Gadis itu menggeleng. “Bukan itu. Tapi… aku nggak enak kalau dia dengar kabar ini dari orang lain. Kita dulu pernah terlalu dekat untuk mengakhirinya dengan diam-diam.”

Keesokan harinya, gadis itu menulis surat. Bukan panjang, hanya beberapa kalimat. Tapi cukup untuk menyampaikan: bahwa hatinya sudah berpulang, dan bahwa ia berharap masa lalu bisa tetap dikenang, bukan digenggam.

Sementara itu, lelaki itu mulai merenovasi kamar depan di rumah ibunya. Sederhana saja cat ulang, rak buku kecil, dan ranjang kayu yang ia buat sendiri bersama pamannya. Setiap paku yang ia ketuk, seolah ia menancapkan harapan untuk hari-hari baru yang akan mereka jalani bersama.

Malam sebelum hari H, mereka berbicara lewat jendela yang bersebelahan, seperti dua anak remaja dulu.

“Kamu siap?” tanya lelaki itu pelan.

Gadis itu tersenyum, menatap langit yang penuh bintang.

“Lebih dari siap. Karena kali ini, aku nggak datang karena luka… aku datang karena aku sudah pulih, dan ingin memulai hidup baru bareng kamu.”

---


Hari pernikahan tinggal sepuluh hari lagi.

Kebaya sudah dijahit rapi, undangan sebagian sudah disebar, dan menu catering sudah dicicipi. Tapi justru di saat segalanya mulai siap, hati mereka malah mulai gelisah.

Malam itu, gadis itu duduk sendirian di dapur, menggenggam cangkir teh yang tak lagi panas. Ibunya sudah tidur, dan rumah sunyi. Ia membuka pesan lama percakapan terakhir dengan Reno. Tidak untuk membuka luka, tapi sekadar memastikan bahwa hatinya tidak salah pilih.

Dan saat itu juga, notifikasi masuk. Nama yang muncul membuat jantungnya sejenak berhenti berdetak.

Reno: “Boleh ketemu sebentar?”

Gadis itu menatap layar lama sekali. Tak dibalas, tapi juga tak dihapus.

Sementara di rumah lelaki itu, suasana tak kalah rumit. Ia baru pulang dari warung saat melihat seseorang duduk di pinggir jalan, di bawah lampu jalan yang remang.

Reno.

“Aku nggak datang buat ganggu,” katanya pelan. “Aku cuma mau bilang… kalau aku nyesel.”

Lelaki itu tak menjawab. Tapi genggaman tangannya di kantong celana mengepal.

“Dia gadis baik, dan aku tahu kamu juga. Tapi kalau besok-besok dia lihat ke belakang, dan ternyata masih ada aku dalam bayangannya, kamu siap?”

Kalimat itu seperti hantaman. Bukan karena ia takut kehilangan, tapi karena ia tahu: cinta bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang ketulusan menerima apa adanya termasuk masa lalu yang tak bisa dihapus.


---


Tiga hari sebelum pernikahan, mereka bertemu di tempat biasa pematang sawah yang dulu sering jadi saksi diam-diam mereka.

Gadis itu menatapnya dengan mata merah karena kurang tidur.

“Aku ketemu Reno,” katanya jujur.

Lelaki itu mengangguk. “Aku juga.”

Sunyi sebentar.

“Masih yakin sama aku?” tanyanya, nyaris berbisik.

Lelaki itu tak menjawab cepat. Ia menatap ke arah langit, lalu kembali ke wajah gadis yang kini akan menjadi istrinya.

“Aku nggak pernah setakut ini dalam hidupku,” ujarnya, jujur. “Tapi justru karena itu aku tahu, kamu penting banget. Kalau nggak, aku nggak akan segelisah ini.”

Gadis itu tertawa kecil, getir. “Aku juga takut. Tapi lebih takut kalau kita menyerah cuma karena masa lalu yang belum benar-benar pergi.”

Dan di bawah langit senja, mereka saling menggenggam tangan. Lebih erat dari sebelumnya. Bukan karena cinta yang membara, tapi karena keputusan yang sudah bulat.

Mereka tahu, cinta yang besar bukan tentang siapa yang paling indah di ingatan, tapi siapa yang paling kuat untuk berjalan bersama di masa depan.


TAMAT

***

           "berbunga dan mekarlah bersama indah nya mentari pagi",




getir yang berkarat

Gema rintihan hatiku
telah lama pupus
diterjang badai kehidupan
yang tandus dan kejam

Kini sirna 
digulung ombak penyesalan
yang tak memberi ampun
menyeruak jadi benalu
dalam gelap yang diam-diam menelan

Meski hujan membasahi bumi,
tak setetes pun angin
rela melihat bunga
tumbuh dan bersemi

Neraka kepedihan,
cakrawala penderitaan
terbuka lebar,
menelan getir yang berkarat
di dada yang luka

Langit bisu menatap
langkah-langkah yang terseret
pada jalan berlumpur
berhiaskan duri-duri kesendirian

Tak ada tangan yang menggenggam
hanya bayang masa lalu
menari di balik kabut
menyiksa dalam diam yang tak kunjung reda

Namun dalam bayang kelam,
ada satu cahaya kecil 
redup tapi setia,
yang menolak padam meski dihempas ribuan malam

Cahaya itu, barangkali
adalah suara hatiku sendiri,
yang lelah menangis
namun belum mau mati

matahari kecilku

Perasaan ini terlalu lembut untuk kusentuh
Bagaikan malam menggulung gelap,
Dinginnya hati tanpa selimut yang utuh
Membuatku tersapu dalam kelam.

Matahari kecilku, kaulah pelita jiwaku

Yang diam tanpa kata, terbentuk tanpa rupa,
Namun jejakmu membekas
jauh di pelupuk dada 
Seperti embun yang tak pernah jatuh
tapi selalu ada.

Dan jika malam terlalu panjang tuk kujalani,
Biarlah bayangmu jadi payung langitku,
aku tak perlu pelukan dunia 
cukup hangatmu,
walaupun takpernah nyata 
namun selalu terasa.

Entri yang Diunggulkan

GUGUR DALAM DIAM

kelopak bunga itu jatuh dari senja yang patah menimpa daun cempaka   seperti rindu yang tak sempat   terucap Angin berbisik   tentang halama...

Postingan Populer