---
Hari berganti, tapi langkah lelaki itu belum juga menjauh dari jalan kecil itu. Ada sesuatu yang menahannya—bukan sekadar pemandangan kampung yang menenangkan, tapi bayangan seseorang yang kini mengisi pikirannya seperti alunan lagu lama yang tak pernah selesai dinyanyikan.
Ia kembali lewat depan rumah itu. Sekilas. Seolah hanya melintas. Tapi matanya tetap curi-curi pandang, mencari sosok yang entah muncul atau tidak.
Dan benar saja. Dari balik jendela, tirai itu bergerak. Tapi tak ada sapaan. Tak ada senyum seperti kemarin. Hanya bayangan. Hanya siluet samar yang muncul lalu menghilang, seperti menantang: "Kalau memang ingin tahu, datang dan tanyalah langsung."
Tapi lelaki itu diam. Ia memilih untuk menunggu. Karena ia tahu, beberapa cerita butuh waktu. Beberapa luka butuh keberanian untuk diungkap. Dan beberapa rindu… hanya bisa dinikmati dari kejauhan.
Malamnya, ia kembali menerima pesan.
“Kamu masih di sini?”
Ia menatap layar ponsel cukup lama, lalu mengetik balasan.
“Masih. Tapi rasanya aku bukan satu-satunya yang menunggu.”
Pesannya terbaca. Tapi tak dibalas. Hanya tanda online yang muncul… lalu menghilang.
Dan malam itu, ia tahu: jarak mereka bukan soal langkah kaki. Tapi soal waktu. Soal keberanian. Soal rasa yang belum siap diucapkan.
Tapi justru karena itulah… segalanya terasa lebih hidup.
---
Beberapa hari berlalu. Tanpa sapaan. Tanpa pesan. Tapi setiap pagi, lelaki itu masih lewat jalan yang sama, langkahnya pelan, seolah tak ingin terlalu cepat sampai, seolah ingin memberi waktu untuk semesta menyusun pertemuan berikutnya.
Rumah itu tetap sunyi. Jendela tetap tertutup rapat, seperti sedang menyimpan sesuatu yang belum waktunya dibuka. Tapi di hati lelaki itu, ada keyakinan yang pelan-pelan tumbuh: bahwa diam pun bisa jadi bentuk komunikasi. Bahwa kadang, kehadiran tak perlu suara.
Di malam kelima, hujan turun lagi. Rintiknya pelan, seperti bisikan. Dan lagi-lagi, ia duduk di teras rumah ibunya, menatap langit yang basah, ditemani secangkir kopi dan pikirannya yang kembali padanya—gadis itu.
Ponselnya diam. Tapi detak jantungnya tidak.
Ia menuliskan pesan, lalu menghapusnya. Menulis lagi, lalu diam. Hingga akhirnya ia hanya mengetik satu kalimat:
“Kalau kamu sedang menahan sesuatu, aku di sini. Tak akan mendesak, hanya menemani.”
Dikirim.
Dibaca.
Tapi lagi-lagi, tak dibalas.
Tapi anehnya… malam itu terasa lebih hangat dari biasanya.
Dan lelaki itu tahu, meski tak ada kata, sesuatu sedang bergerak perlahan di balik tirai, di balik hati yang dulu sempat tertutup.
Bersambung…
Label: Romansa Nostalgia
<< Home