Rabu, 07 Mei 2025

Senja di ahir luka

---
Sudah berapa jauh langkah kaki itu pergi? Tak ada yang tahu pasti. Ia sendiri pun sudah lupa arah. Yang ia ingat hanya bayangan samar senja di sebuah musim yang pernah membahagiakannya, musim di mana canda tawa masih tumbuh seperti bunga liar di pinggir jalan.

Gadis itu berjalan dalam diam. Sepasang mata sembabnya menatap hampa ke depan, menyusuri lembah demi lembah yang dipeluk kabut kelam. Di balik tatapan sayunya, ada kisah yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Tentang hilangnya rumah, lenyapnya harapan, dan sunyinya dunia yang pernah ia percayai.

Dulu, ia pernah percaya bahwa dunia ini hangat. bahwa kehidupan itu lembut, dan pelukan adalah bahasa paling jujur di antara dua jiwa. Tapi waktu mencabik semua itu. Ia ditinggal, dihianati, dilupakan sampai akhirnya yang tersisa hanya suara langkah kaki nya sendiri.

Ia terus berjalan, bukan karena tahu arah, tapi karena diam hanya membuat luka terasa lebih dalam.

Hingga suatu hari, setelah sekian waktu berlalu, ia tiba di sebuah dataran tinggi. Di sana, langit terbuka lebar dan matahari mulai rebah di ufuk barat. Angin membelai rambut kusutnya, membawa aroma rumput basah dan rindu yang lama ia pendam. Gadis itu berhenti. Ia memandang ke arah langit, dan dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan rasa kehilangan yang begitu familiar.

โ€œSore seperti ini dulu membuatku tertawa,โ€ bisiknya lirih.

Ia teringat seseorang. Mungkin seorang ibu. Atau sahabat. Atau lelaki yang pernah menjanjikan bahagia di bawah langit jingga. Wajah-wajah itu kabur, tapi perasaan yang tertinggal masih nyata.

Air matanya jatuh. Bukan karena sedih semata, tapi karena ingatan akan kehangatan yang tak bisa ia peluk lagi. Dunia telah berubah. Orang-orang telah pergi. Tapi cahaya senja masih ada, membawa warna yang sama, meski tak lagi disambut tawa.

Lama ia berdiri di sana. Memandang cakrawala, memeluk angin, menyatu dengan sunyi.

Malam datang perlahan. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak takut. Ia duduk di atas rerumputan. Memandang bintang pertama yang menyala. Dalam hening itu, ia sadar: meski tak tahu ke mana harus pulang, mungkin, hanya mungkin... cahaya senja adalah rumah itu sendiri.

-----

terkadang bukan karena tidak tahu jalan, tapi karena kehilangan alasan untuk pulang. Namun, ingatan akan kehangatan, tawa yang dulu bisa menjadi cahaya kecil yang membimbing jiwa kembali ke dalam dirinya sendiri.

Label: