Di sebuah desa yang sederhana, hiduplah seorang remaja yang berbeda dari teman-teman sebayanya. Ia bukan anak yang tumbuh dengan kemewahan, bukan pula yang punya waktu untuk bersenang-senang seperti remaja lain nya. Namun, satu hal yang tak pernah hilang darinya: semangat dan harapan bangkit bersama kasih sayang bunda nya.
---
Ayah dan ibunya menyayanginya dengan sepenuh hati, meski mereka tak bisa memberikan segalanya. Mereka bukan keluarga kaya, tapi cinta di rumah itu tak pernah kurang. Setiap pagi, remaja ini bangun lebih awal dari teman-temannya. Bukan untuk bermain, tapi untuk membantu ibunya di sawah. Tangannya yang kecil terbiasa menggenggam cangkul dan mencabuti rumput, bukan memegang gadget atau menikmati kopi di kafe seperti anak kota nan jauh di sana.
Hidupnya sederhana, tapi cita-citanya besar. Dalam diamnya, ia sering menatap langit sambil berdoa, berharap suatu hari nanti bisa mengubah nasib keluarganya. Ia ingin melihat senyum bangga di wajah ayah dan ibunya. Ia ingin membahagiakan mereka, membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik. Dan jauh di lubuk hatinya, ia juga berharap bisa menemukan pasangan hidup yang bisa menerima dirinya dengan hati yan tulus. yang bisa berjalan bersamanya dalam suka dan duka.
Remaja ini tahu, jalan yang ia tempuh tak mudah. Tapi ia percaya, kerja keras dan doa takkan pernah sia-sia. Di tengah semua keterbatasan, ia terus melangkah. Bukan karena terpaksa, tapi karena cinta cinta pada keluarga, pada harapan, dan pada masa depan yang ia impikan
---
Fajar belum benar-benar merekah. Kabut tipis masih menggantung di atas pematang. Dingin pagi menembus kain tipis yang membungkus tubuhnya, tapi ia sudah berdiri di tepi sawah bersama ibunya. Tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, hanya helaan napas pelan yang dihembuskan dengan penuh ketabahan.
"Ibu, mulai dari sini ya?" tanyanya pelan, sambil menggulung celana sampai ke lutut.
Ibunya mengangguk, wajahnya lelah tapi hangat. Mereka tahu, hari ini akan panjang. Tapi juga tahu, mereka tak sendiri selalu berdua dalam perjuangan yang sunyi ini.
Sambil mencabuti rumput liar dan merapikan tangkai-tangkai padi, pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan suatu hari nanti bisa melihat ibunya duduk santai di teras rumah yang lebih baik. Tak lagi harus membungkuk di sawah, tak lagi harus menyimpan rasa sakit di pinggangnya yang mulai menua. Ia ingin mengubah segalanya walau saat ini, belum tahu caranya.
Di sekolah, ia tidak seperti teman-teman lainnya. Tidak punya sepatu baru, tidak bisa ikut les tambahan, apalagi main ke kota. Tapi ia tidak iri. Dalam diam, ia justru belajar melihat dunia dari sisi lain. Sisi yang mengajarkan bahwa bahagia bukan soal punya banyak, tapi tahu caranya bersyukur.
Hari itu pun berlalu. Setelah matahari tinggi, ia pulang ke rumah membawa nasi sisa dan dua ikat bayam. Ia tak malu. Justru ia bangga, karena semua itu hasil tangannya sendiri. Di dalam hatinya, ia menyimpan satu keyakinan: bahwa langkah kecil hari ini akan jadi pondasi besar untuk masa depan.
Dan malam itu, sebelum tidur, ia kembali menatap langit dari jendela kamar mungilnya.
“Semoga esok membawa harapan baru,” gumamnya lirih.
Bersambung....