---
Sejak malam itu, lelaki itu mulai menjaga jarak. Bukan karena menyerah, tapi karena tak ingin jadi penonton dalam cerita yang mungkin bukan untuknya. Ia tetap menyapa gadis itu saat berpapasan, tapi tak lagi singgah. Tak lagi duduk lama di pematang atau berbagi tawa kecil.
Dan gadis itu… juga tak menjelaskan apa pun.
Sampai suatu pagi, saat hujan baru reda, ia datang. Berdiri di depan rumah lelaki itu, mengenakan jaket tipis, rambutnya lembap, mata bengkak seperti habis menangis.
“Aku nggak nyangka kamu bakal pergi kayak gitu,” katanya.
Lelaki itu membuka pintu, menatapnya pelan. “Aku nggak pergi… cuma nggak tahu harus gimana.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. “Reno nggak minta apa-apa. Dia cuma pulang. Tapi kamu... kamu malah pergi pas aku butuh kamu tetap di situ.”
Sunyi lagi. Suara air menetes dari atap terdengar jelas.
“Kalau kamu butuh aku tetap di situ,” lelaki itu akhirnya berkata, “kenapa kamu nggak bilang? Kenapa kamu biarin aku ngerasa kayak orang asing di tengah cerita kalian?”
Gadis itu menunduk. “Karena aku juga bingung. Aku kira aku udah selesai sama semua itu. Tapi waktu dia datang, semua kenangan yang udah aku kubur... muncul lagi.”
“Dan kamu pengen balik ke dia?”
Dia menggeleng. Cepat.
“Enggak. Tapi aku juga belum tahu gimana caranya jujur ke diriku sendiri… kalau mungkin, aku belum bener-bener selesai.”
Lelaki itu mengangguk pelan. “Kalau gitu, selesain dulu. Jangan bawa aku ke perang yang belum kamu menangkan.”
Gadis itu menatapnya. Ada air mata yang jatuh, tapi tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Hanya keheningan dan angin yang membawa aroma basah dari tanah kampung.
---
Beberapa minggu berlalu.
Gadis itu jarang terlihat. Reno masih kadang lewat, tapi tidak sesering sebelumnya. Lelaki itu kembali duduk di gang belakang sekolah—tempat kenangan mereka dulu tinggal. Di sana, ia belajar untuk melepaskan, bukan dengan marah… tapi dengan mengerti.
Dan suatu senja, saat langit berwarna oranye keunguan, gadis itu datang lagi. Duduk di sebelahnya, diam.
“Kamu tahu,” katanya lirih, “aku akhirnya bilang ke Reno. Bahwa aku udah bukan gadis yang sama. Dan dia juga bukan laki-laki yang pernah aku tunggu.”
Lelaki itu menatapnya, tak berkata apa-apa.
“Aku nggak tahu kamu masih nunggu, atau udah pergi,” katanya, menoleh pelan. “Tapi kalau kamu masih di sini… aku pengen mulai dari nol. Bukan karena sepi, bukan karena luka. Tapi karena aku milih kamu, sekarang, dengan sadar.”
Lelaki itu menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kalau gitu, kita mulai dari nol. Tapi jangan buru-buru. Kita jalan pelan aja. Karena cinta yang kita mau… bukan buat gantiin luka, tapi buat nemenin tumbuh.”
Dan sore itu, mereka duduk cukup dekat. Masih ada ruang, tapi kali ini bukan karena ragu. Tapi karena tahu—cinta butuh ruang untuk tumbuh, bukan untuk terburu-buru.
Bersambung....