Selasa, 06 Mei 2025

Kereta Senja




Di stasiun ini dulu kita menunggu,  
menatap kereta api membelah senja   
gerbong-gerbong tua berderit pelan,  
membawa kabur sisa cahaya.  
Kau bisikkan, "Senja hanya palsu,  
sebenarnya matahari tak pernah tenggelam."  
Aku tertawa, tak paham itu adalah peringatan.  

Hilang nya harapan yang telah menjadi pegangan"

Kini kau sendiri yang menjadi senja,  
menghilang di ujung rel tanpa jadwal.  
Hanya bayanganmu yang tersangkut  
pada duri-duri ilalang tepian peron.  
Lampu stasiun berkedip merah,  
isyarat terakhir yang kau tinggalkan:  
sebuah koper usang berisi foto-foto  
yang mulai pudar dimakan jarak.  

Kerinduan yang ki@ntenggelam bersama sepinya kenyataan"

Aku masih datang setiap petang,  
duduk di bangku kayu yang rapuh  
mendengar dengung rel bersiul  
seperti suaramu yang salah tingkah.  
Penjaga stasiun sudah hafal,  
"Tuan, tak ada kereta malam ini."  
Tapi aku tetap menunggu,  
sampai bintang-bintang pun lelah  
dan fajar menyingsing dengan wajahmu  
yang tercetak samar di kaca jendela.  

Aku bicara sendiri di antara angin,
mengulang cerita yang tak selesai,
tentang janji yang kau sematkan
di antara deru roda dan desir langkahmu.

Malam-malam panjang jadi saksi,
betapa aku menambal rindu
dengan serpih bayangan yang kau tinggal,
merajut harap pada lintasan kosong.

Kadang kudengar langkahmu,
atau kuduga itu,
dari tiap derik lantai tua,
dari tiap hembus dingin yang mencuri napasku.

Tak ada lagi tiket pulang,
tak ada lagi suara "sebentar lagi tiba",
hanya waktu yang terus berlalu,
menjadi karcis sobek dalam saku hatiku.

Dan aku tetap di sini,
di stasiun kecil tanpa nama,
bersama bayangmu yang pelan-pelan
berubah jadi kabut pagi.

Suatu hari nanti,
mungkin kereta itu benar-benar datang,
tanpa klakson, tanpa derit,
hanya keheningan yang membuka pintunya.

Aku akan melangkah ragu,
membawa koper tua penuh kenangan,
menyusuri gerbong demi gerbong,
mencari kursi kosong di samping bayangmu.

Kita akan bertemu di tengah perjalanan,
kau tersenyum tipis seperti dulu,
mengenakan baju lusuh yang tetap abadi
dalam ingatan yang tak pernah lapuk.

"Sudah waktunya," bisikmu,
dan aku mengangguk tanpa kata,
menitipkan lelah, menitipkan luka,
pada bantal kecil di bahumu.

Rel demi rel menggerus masa lalu,
stasiun-stasiun asing terlewatkan,
tak ada lagi yang kucari,
kecuali satu:
tiba bersamamu di tempat yang tak pernah bernama.

Sampai akhirnya malam benar-benar padam,
dan fajar tak lagi membawa wajahmu,
hanya hamparan cahaya
yang perlahan membasuh segalanya.

Lalu, aku akan turun,
meninggalkan segalanya di gerbong itu,
kecuali satu hal:
namamu yang kini menjadi jalanku pulang.
🌼