---
Hari-hari setelah itu berjalan tanpa drama. Tak ada janji-janji manis, tak ada genggaman tangan yang buru-buru. Tapi juga tak ada keraguan yang menggelayut.
Mereka kembali duduk di pematang. Kadang bicara, kadang diam saja. Tapi diam itu bukan lagi sepi—diam itu jadi ruang untuk merasa. Untuk membiarkan hati saling membaca tanpa harus selalu bicara.
Suatu malam, mereka duduk di bawah langit penuh bintang. Angin desa yang tenang membelai lembut, dan suara air irigasi terdengar mengalir dari kejauhan.
“Aku pernah nulis surat buat kamu,” gadis itu berkata tiba-tiba.
Lelaki itu menoleh. “Kapan?”
“Dulu. Waktu kamu mulai jaga jarak... Tapi surat itu nggak pernah aku kirim. Aku takut kamu marah. Atau sedih. Atau malah datang dan bikin aku ragu lagi.”
Ia tertawa kecil. “Tapi lucunya, waktu aku lihat kamu duduk di pemakaman waktu ayahku meninggal… aku tahu, kamu nggak pernah benar-benar pergi.”
Lelaki itu hanya menatap bintang, matanya tenang. Tapi dadanya hangat.
“Sekarang suratnya masih ada?”
Gadis itu mengangguk. “Ada. Tapi udah nggak penting isinya. Karena sekarang aku bisa ngomong langsung.”
Ia menatap lelaki itu, lebih lama dari biasanya.
“Aku masih belajar. Belajar mencintai tanpa takut gagal. Belajar menerima kamu bukan sebagai laki-laki yang aku tunggu, tapi laki-laki yang tetap tinggal meski aku sempat pergi.”
Lelaki itu tersenyum kecil. “Dan aku belajar mencintai kamu… bukan sebagai gadis yang dulu aku bayangin. Tapi sebagai perempuan yang datang kembali, lebih kuat, lebih jujur.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidak menciptakan ruang di antara mereka.
Mereka duduk berdekatan, bahu saling menyentuh. Bukan sebagai pelarian. Bukan sebagai pelengkap luka. Tapi sebagai dua orang yang memilih untuk tetap di sini—meski masa lalu pernah membuat mereka ingin pergi.
---
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Tak ada pengumuman resmi, tak ada pernyataan baru yang keluar... Tapi mereka mulai sadar mulai paham: mereka kembali dekat, dan kali ini tampak lebih dewasa.
Suatu sore, di teras rumah gadis itu, mereka duduk sambil mengupas jagung untuk dikeringkan. Tangannya sibuk, tapi obrolan mereka ringan dan mengalir.
“Aku kepikiran bikin warung kopi kecil di dekat sawah,” lelaki itu membuka suara, menahan senyum malu. “Bukan kafe yang gaya… cuma tempat ngopi buat petani yang baru panen atau yang lagi istirahat.”
Gadis itu mengangkat alis. “Lah, idenya lucu juga. Bisa sekalian jual pisang goreng sama singkong rebus.”
“Persis,” katanya semangat. “Aku juga bisa bantu nyeduh, kamu yang nyiapin camilan. Kita bikin kecil-kecilan dulu, depan rumah aja.”
Ia tertawa kecil. “Niatnya dagang, tapi romantis ya.”
Lelaki itu nyengir. “Kalau dagang bareng kamu, aku yakin untungnya nggak cuma duit.”
Gadis itu hanya menunduk sambil senyum, tapi pipinya memerah.
Hari demi hari, rencana-rencana kecil itu terus bermunculan. Tentang warung kopi sederhana. Tentang halaman belakang yang bisa ditanami cabai dan tomat. Tentang kandang ayam kecil. Tentang motor tua yang bisa dicicil bersama, supaya bisa antar hasil kebun ke pasar.
Bukan mimpi besar. Tapi mimpi yang terasa mungkin. Terasa hangat. Terasa cukup.
Suatu malam, di bawah bintang yang sama seperti dulu, mereka berdua duduk lagi di pematang sawah. Tapi kali ini, bukan untuk mengingat masa lalu melainkan membayangkan masa depan.
“Kamu yakin nggak akan bosan?” tanya gadis itu.
Lelaki itu menatap wajahnya yang diterangi cahaya bulan. “Kalau sama kamu, aku nggak nyari hidup yang serba wow tapi serba ada juga boleh. Aku nyari hidup yang tenang. Yang ada kamu tiap pagi dan malam. Yang kalau capek, bisa cerita. Kalau hujan, bisa bareng-bareng narik jemuran.”
Gadis itu tertawa kecil, lalu menyandarkan kepala di bahunya.
“Kalau gitu… ayo kita mulai. Pelan-pelan, asal bareng.”
Dan malam itu, tak ada janji manis yang diumbar. Tapi mereka tahu—hidup baru itu tidak lagi di awang-awang. Sudah mulai tumbuh, dari obrolan kecil, dari tawa ringan, dari keberanian untuk percaya lagi
Bersambung.....