Lelaki itu tak lagi menangisi rindu. Rindu sudah lama tertimbun oleh beban hidup yang datang bertubi-tubi. Perjalanan masih terus menelusuri lembah yang tak jelas ujungnya, di mana langkah terasa berat dan setiap jejak menggoreskan luka. Bukan karena bunga liar yang kini telah berpindah tempat lelaki itu tahu, hidup tak selamanya tumbuh di tanah yang sama. Tapi karena jalan berlumpur di depan mulai menggertak, siap menerkam kapan saja, membuat hati gelisah bukan karena cinta yang luntur, tapi karena kenyataan yang kian memudar.
Ia bukan tidak ingin bahagia, hanya saja bahagia kini terasa terlalu jauh. Di dalam diamnya, lelaki itu masih berdiri, bukan karena tak bisa roboh, tapi karena terlalu sering dipaksa kuat. Dan di tiap malam sunyi, saat tak ada bahu untuk bersandar, ia berbicara pada dirinya sendiri:
"Berjalanlah terus, meski tak tahu ke mana. Karena diam, justru membunuh pelan-pelan."
Lelaki itu melangkah, bukan karena tahu ke mana harus pergi, tapi karena diam hanya akan membuat jiwanya membusuk dalam kelam. Hari-harinya seperti kabut yang menelan arah ia tak lagi yakin mana tujuan, mana persinggahan. Dunia di sekitarnya terus bergerak, tapi jiwanya seperti tertinggal, berputar-putar di dalam lembah yang tak bernama.
Bukan kehampaan yang menakutkan, tapi kebiasaan hidup dalam kehampaan itu sendiri. Ia berjalan di antara harapan yang redup dan kenyataan yang kasar. Setiap detik menjadi beban. Setiap malam terasa panjang, bukan karena rindu yang menggila, tapi karena kesunyian yang tak kunjung berubah jadi kedamaian.
Kadang lelaki itu bertanya pada angin malam, “Masih adakah tempat di ujung sana yang bisa disebut bahagia?”
Tapi angin hanya lewat, tanpa jawaban. Maka ia kembali diam, menunduk, dan melangkah lagi. Bukan karena yakin, tapi karena pasrah bukanlah pilihan. Di dalam dadanya masih ada bara kecil yang dijaga diam-diam, bahwa lembah ini, sekelam apa pun, pasti punya akhir.
Dulu, lelaki itu percaya rumah adalah tempat di mana hati bisa beristirahat. Bukan sekadar bangunan, tapi pelukan hangat, suara lembut, dan tatapan yang membuatnya merasa cukup. Namun kini, rumah terasa jauh bukan karena jarak, tapi karena kehangatan itu perlahan memudar, tertelan oleh waktu dan keadaan.
Harapan nya bukan pergi, tapi keadaan memisahkan mereka, Tapi bagi lelaki itu, ini bukan sekadar rindu biasa. Ini seperti kehilangan keseimbangan. Dahulu mereka berjalan beriringan, saling menyuapi angan, Kini lelaki itu seperti berjalan sendiri, sementara yang ia cintai berdiri jauh di sisi lain lembah, terhalang kabut dan sunyi.
"Apa kau masih di sana, mendengarku dalam diam?" bisiknya dalam hati,
"Karena aku... masih berdiri di titik yang sama, menunggumu menoleh."
Ia tak menyalahkan siapa pun, bahkan tak menyalahkan cinta nya. Ia hanya menyimpan perasaan yang tak bisa ia utarakan. Tentang bagaimana hari-harinya sepi tanpa suara tawa yang dulu menemani. Tentang bagaimana rasanya pulang ke kamar tanpa cerita, tanpa ada yang menyambut, kecuali pantulan bayangan dirinya sendiri.
"aku rindu kita... yang saling menguatkan. aku rindu kita... sebelum dunia mengatur ulang segalanya."
Lelaki itu tak menangis. Ia hanya diam. Karena air matanya sudah berpindah ke dada menjadi beban yang tak terlihat tapi terasa.
---
Di balik langkah tenang dan wajah yang seolah tak tergoyahkan, lelaki itu menyimpan badai yang tak pernah reda. Ia telah terlalu sering tersenyum di hadapan dunia, padahal dadanya penuh sesak. Bukan karena ia ingin terlihat kuat tapi karena ia tahu, tak banyak tempat untuk lelaki itu menaruh lelah.
Setiap malam ia pulang bukan untuk beristirahat, tapi untuk menenangkan pikiran yang terus berbisik. dan ia terlalu lelah untuk selalu menjadi kuat sendirian. Tapi lelaki itu tahu, tak ada pilihan lain. Ia harus tetap berdiri. Harus tetap jalan. Karena menjadi lelaki berarti menjadi tiang, meski sering retak dalam diam.
"Aku ingin rehat... Tapi pada siapa harus bersandar, jika dunia menuntutku tetap tegak?"
"Tak ada yang tahu bahwa di balik punggungku yang kokoh, ada nyeri yang tak bisa aku tangisi."
Kadang ia berpikir, adakah yang benar-benar melihatnya? Atau semua hanya menuntut, lalu pergi? Ia ingat saat dulu dia ada di sisinya. Ada tangan yang menggenggam, ada mata yang mengerti tanpa perlu kata. Kini, yang tersisa hanya bayangan dan memori, mengendap di sela-sela keheningan.
"tahukah kau... aku merindukan kekuatan yang dulu datang dari senyummu. Sekarang, aku hanya ditemani dingin tembok dan suara hati sendiri."
Namun lelaki itu tetap melangkah, meski pelan, meski sering goyah. Karena baginya, ketabahan bukan berarti tak merasa sakit tapi tetap berjalan meski sakit itu terus menusuk.
Lelaki itu berjalan, meski langkahnya sering terasa berat. Dia tahu, jalan di depannya tak selalu terang. Ada kalanya kabut menutupi, bahkan membuatnya hampir kehilangan arah. Tapi di setiap malam yang sunyi, di setiap kesunyian yang merayapi jiwanya, ia tetap percaya—ada harapan di ujung sana, meskipun samar, meskipun kadang terasa jauh sekali.
> "Aku tak tahu di mana ujung lembah ini, tapi aku harus percaya ada jalan menuju rumah."
"Karena meski gelap, aku tahu di setiap kegelapan, ada bintang yang menunggu untuk ditemukan."
Kadang lelaki itu berhenti sejenak, menatap langit yang tak selalu cerah. Namun ia tak pernah benar-benar berhenti. Ia tahu, meski berat, meski lelah, terus berjalan adalah satu-satunya pilihan. Bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena harapan itu sendiri adalah cahaya yang tak boleh padam.
Ada malam-malam di mana ia merasa hampir menyerah, di mana hatinya ingin berhenti berharap. Namun setiap kali itu terjadi, ia teringat pada hal-hal kecil yang memberi arti—suara istrinya yang dulu menenangkan, tawa anak-anak yang menghangatkan rumah, dan bahkan senyuman sederhana yang sering terlupakan.
"Aku mungkin tak tahu kapan, tapi aku percaya ada harapan yang akan membawa kita kembali ke tempat yang kita sebut tenang😊."
Dan meskipun ia tak tahu dengan pasti bagaimana jalan ini akan berakhir, ia memilih untuk terus berjalan. Karena bagi lelaki itu, hanya mereka yang tak pernah berhenti berjalan yang akan menemukan cahaya yang lebih terang dari kegelapan.