Selasa, 13 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.3

WhatsApp

…Hari-hari berikutnya berlalu perlahan, tapi di benaknya, semuanya terasa seperti film yang tak berhenti diputar. Setiap langkah menuju jalan kecil itu, setiap bunyi pintu rumahnya yang terbuka, selalu membuat jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Ia mencoba tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Tapi dunia batinnya ribut, riuh oleh kenangan dan kemungkinan.

Sore itu, hujan turun tiba-tiba. Lelaki itu berteduh di warung kecil di ujung jalan. Dan seperti cerita lama yang menemukan bab baru, dia datang gadis itu berlari kecil sambil tertawa, rambutnya basah, dan mata yang langsung menatap ke arahnya begitu ia sadar sedang diperhatikan. Tak ada yang diucapkan. Tapi senyum itu muncul lagi. Senyum yang tak berubah, hanya kini ada kedewasaan yang menyertainya.

“Masih suka hujan, ya?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi penuh isyarat.

Lelaki itu nyaris lupa bagaimana caranya bicara. Tapi ia menjawab, “Masih… apalagi kalau hujannya kayak gini.”

“Maksudnya?” Gadis itu mendekat, jarak mereka tinggal sejengkal.

“Hujan yang datang bareng kamu.”

Dan untuk sesaat, waktu benar-benar berhenti. Tak ada yang berkata apa-apa lagi. Hanya suara hujan dan detak jantung yang tak bisa berbohong.

---

Malam kembali datang, dan lelaki itu masih di tempat yang sama teras rumah ibunya, kursi tua, dan langit kampung yang tak pernah kehilangan pesonanya. Tapi kali ini, ia membawa secangkir kopi hangat, dan di balik aroma robusta itu, ada senyum yang terus mengendap di benaknya.

Ia memutar ulang percakapan singkat tadi sore, kata demi kata, tatapan demi tatapan. Ada sesuatu di matanya mata gadis itu yang tak bisa dijelaskan. Seolah ada cerita panjang yang tak sempat diceritakan, ada rindu yang tak tahu harus mulai dari mana.

Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk.

“Masih suka hujan?”
Tanpa nama. Tanpa salam. Tapi ia tahu pasti siapa pengirimnya. Dan entah kenapa, itu cukup membuatnya tersenyum.

Ia tak langsung membalas. Ia biarkan pesan itu mengendap, seperti rasa yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong di hatinya.

Lalu malam itu, ia tertidur dengan bayangan yang sama: gadis itu, berdiri di bawah hujan, tersenyum tanpa kata, seolah berkata, “Kalau kamu datang, aku tak akan lari lagi.”

Dan ia tahu, sesuatu sedang tumbuh. Diam-diam. Tapi nyata.

---

Pagi menyapa kampung dengan kabut tipis dan aroma dedaunan yang basah. Ayam berkokok dari kejauhan, dan matahari malu-malu menembus celah pohon. Lelaki itu sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ada dorongan dalam dirinya bukan karena rutinitas, tapi karena rasa penasaran yang terus mengusik sejak pesan tadi malam.

Ia berjalan pelan ke warung kecil tempat mereka bertemu kemarin. Bukan karena ingin beli sesuatu. Hanya ingin… mungkin melihat, atau mungkin berharap.

Tapi yang ia temukan bukan gadis itu. Yang ia temukan adalah seorang anak kecil, duduk di bangku panjang, memainkan batu kerikil sambil sesekali melirik ke arah rumah di seberang jalan.

“Aku sering liat Kakak itu nunggu di sini juga,” kata anak itu tiba-tiba, seolah tahu arah pandangan lelaki itu. “Dia suka duduk diem, ngeliatin langit. Katanya lagi nunggu seseorang.”

“Nunggu siapa?” tanya lelaki itu dengan nada pelan.

Anak itu mengangkat bahu, lalu tersenyum misterius. “Entahlah… Tapi katanya, orang itu suka hujan juga.”

Lelaki itu diam. Matanya menatap ke rumah seberang. Tirai jendela terbuka sedikit, cukup untuk melihat bayangan seseorang yang tengah berdiri di baliknya mungkin sedang mengamati dari kejauhan. Mungkin sedang menanti, sama seperti dirinya.

Dan pagi itu, ia tidak mendapatkan jawaban. Tapi kadang, misteri yang belum terungkap justru membuat hati ingin terus kembali. Menunggu. Mencari. Memahami.

Karena beberapa rasa… memang lebih indah jika dibiarkan tumbuh perlahan.

Bersambung…

Label: