Kamis, 15 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.7

---
  Malam makin larut. Langit tak lagi gelap pekat bintang-bintang mulai bermunculan, malu-malu seperti perasaan mereka yang kini perlahan muncul ke permukaan. Angin kampung berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan keheningan yang tak menakutkan lagi.

Dia menyandarkan punggung ke dinding kayu di baliknya, menatap lelaki itu yang masih duduk dengan tangan di pangkuan. Lalu pelan, ia berkata:

“Kalau dulu aku lebih berani bilang aku butuh kamu, bukan waktu… mungkin semuanya beda.”

Lelaki itu menoleh, matanya hangat. Tak ada penyesalan. Hanya pemahaman yang baru.

“Kalau dulu aku lebih jujur soal rasa takutku kehilangan kamu… mungkin aku nggak akan membiarkan kita hancur diam-diam.”

Hening sejenak, lalu dia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena akhirnya mereka bisa mengakuinya tanpa sakit.

“Tapi mungkin… kita harus jatuh dulu, biar tahu caranya bangun.”

Lelaki itu mengangguk pelan. Kemudian, ia mengulurkan tangannya. Tak mendesak. Hanya isyarat kecil yang menyimpan ribuan kata yang tak terucap.

Dia menatap tangan itu lama. Lalu, dengan satu gerakan lembut, ia menyentuhnya. Tidak menggenggam. Hanya membiarkan jemari mereka bersentuhan… cukup untuk bilang:

“Aku belum lupa. Dan mungkin… aku belum selesai.”

Lampu jalan di ujung gang berpendar lembut, menciptakan bayangan dua sosok yang saling diam namun tak lagi jauh. Ada ruang, tapi bukan jarak. Ada jeda, tapi bukan akhir.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak dulu, mereka tak merasa sendirian lagi.

---

Pagi pun datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menyusup di sela-sela dedaunan dan celah rumah-rumah kayu. Kampung itu masih sunyi, hanya terdengar suara ayam berkokok dari kejauhan dan gesekan dedaunan yang disentuh angin pagi. Tapi bagi mereka berdua, pagi ini terasa seperti lembaran baru lembut, segar, tapi juga sedikit menegangkan.

Mereka masih duduk berdampingan di teras yang sama, tak banyak kata, hanya menikmati keheningan yang kini tak lagi canggung. Sang gadis memandangi secangkir teh hangat di tangannya, sementara lelaki itu memandangi semburat cahaya matahari yang mulai muncul dari balik bukit.

“Lucu ya,” katanya akhirnya, “dulu kita biasa saling diam karena bingung harus bilang apa… sekarang, diamnya malah bikin tenang.”

Lelaki itu tersenyum, lalu menoleh padanya.
“Karena sekarang kita nggak lagi sembunyi.”

Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya sebuah kertas kecil yang sudah mulai lusuh. Ia buka perlahan, lalu memberikannya padanya.
“Aku simpan ini sejak dulu… tulisan kamu waktu kita tukar-tukaran pesan di belakang buku pelajaran.”

Matanya membesar.
“Masih ada?! Hmmm....kamu nyimpen?”

Ia mengangguk pelan.
“Aku pikir aku simpan cuma karena lucu… tapi ternyata, hati ini yang nggak rela buang.”

Tangannya gemetar sedikit saat menerima kertas itu, matanya membaca kalimat-kalimat kecil yang dulu ditulis tanpa sadar akan arti pentingnya. Saat itu, hanya iseng. Tapi sekarang… jadi bukti kecil bahwa dari dulu mereka memang saling ada.

Dan pagi itu, dengan teh hangat, kertas tua, dan dua hati yang mulai belajar berkata jujur mereka tahu bahwa yang mereka jalani bukan sekadar reuni masa lalu.

Ini awal dari sesuatu yang lama… tapi juga baru.


Bersambung.....

Label:

🌹