Kamis, 15 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.5

---

Keesokan paginya, kabut masih menggantung rendah di antara pohon-pohon. Lelaki itu seperti biasa berjalan pelan di jalan kecil kampung itu. Tapi hari ini, ada yang berbeda.

Di pagar bambu rumah itu yang biasanya kosong tergantung satu benda kecil: sebuah bunga kamboja putih, masih basah oleh embun, diikat dengan benang merah sederhana.

Bukan hiasan. Bukan kebetulan. Karena di bawahnya, terselip secarik kertas kecil, dilipat rapi. Tulisan tangan yang ia kenal baik.

“Aku juga suka hujan. Tapi kadang, hujan membuatku takut akan hal yang dulu.”

Ia menatap kertas itu cukup lama. Tak ada nama. Tak ada ajakan. Tapi ia tahu, ini bukan sekadar bunga atau kata-kata. Ini adalah undangan diam-diam. Sebuah pengakuan samar bahwa dia sedang membuka sedikit ruang.

Dan lelaki itu, untuk pertama kalinya, tak merasa canggung. Ia tak mencoba mencari makna di balik tiap huruf. Ia hanya tersenyum senyum yang penuh sabar, senyum yang siap menunggu, karena sekarang ia tahu satu hal:

Dia masih ada. Masih merasa. Dan sedang perlahan-lahan membiarkan dirinya ditemukan kembali.

---

Malam itu lebih hangat dari biasanya, meski udara masih basah sisa hujan siang tadi. Langit tak benar-benar gelap cahayanya temaram, dibingkai oleh kabut tipis yang turun pelan-pelan. Dan di ujung jalan kecil yang biasa ia lewati, lampu jalan satu-satunya menyala redup, seolah ikut menunggu sesuatu.

Lelaki itu berdiri di bawah cahaya kekuningan itu, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, matanya mengarah ke arah rumah bambu itu. Tak berharap apa-apa. Tapi juga tak ingin pergi dulu.

Lalu… langkah pelan terdengar dari kejauhan. Bukan gemuruh. Hanya ketukan pelan sandal pada tanah basah. Dan dari balik bayang-bayang, muncul sosok yang sangat ia kenal dia, dalam balutan sweater abu dan rok panjang. Rambutnya digelung seadanya. Wajahnya sebagian tersembunyi oleh bayangan, tapi matanya… terang. Tajam. Dan ragu.

Ia tak langsung mendekat. Mereka berdiri berjarak beberapa meter. Sama-sama diam. Sama-sama menunggu yang lain bicara dulu.

Akhirnya, dia yang membuka suara.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana…”

Lelaki itu tersenyum tipis, tapi tak memotong. Ia biarkan dia menyusun kalimat, menyusun keberanian.

“Tapi setiap kali kamu lewat… aku ngerasa seperti dulu. Tapi juga bukan. Rasanya kayak… ada sesuatu yang ketinggalan, tapi belum sempat diambil lagi.”

Suara serangga malam jadi latar, angin berhembus pelan, membuat dedaunan bergesekan lembut. Dan untuk pertama kalinya, mereka tidak hanya melihat. Mereka benar-benar saling menatap.

Lelaki itu melangkah setapak. Tak menyentuh, hanya mendekat cukup untuk bicara pelan.

“Kalau kita sama-sama belum selesai… kenapa nggak kita mulai pelan-pelan lagi? Dari sini. Dari malam ini.”

Dia tak menjawab. Tapi senyumnya muncul perlahan. Bukan senyum lega. Tapi senyum yang menyimpan ribuan kemungkinan.

Dan di bawah lampu jalan yang remang, dua bayangan berdiri… masih berjarak… tapi kali ini, jarak itu bukan penghalang.

Melainkan awal.

🌹