Kamis, 15 Mei 2025

Harapan yang tak Pernah pupus...eps.6

---
Mereka mulai berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang masih basah. Tak ada tujuan pasti, hanya mengikuti arah kaki membawa. Langkah mereka tak bersentuhan, tapi bayangan mereka di bawah cahaya lampu jalan yang perlahan memudar ke belakang berjalan berdampingan.

“Masih inget nggak?” tanyanya tiba-tiba, lirih.

Lelaki itu menoleh, tersenyum samar.
“Inget apa?”

Dia menunjuk sebuah pohon jambu yang berdiri di tepi jalan.
“Dulu kamu pernah manjat itu buat aku, padahal aku cuma bilang pengen makan jambu yang warnanya merah tua.”

Mereka berdua tertawa kecil. Lelaki itu mengangguk.
“Aku inget. Waktu turun, celana aku sobek, terus kita lari-lari takut dimarahin orang rumah.”

“Iya… dan kamu nyalain aku,” balasnya sambil mencubit pelan udara di sebelahnya, pura-pura kesal.
“Tapi malam itu lucu banget. Aku nggak pernah lupa.”

Suara mereka pelan, seperti takut mengganggu malam. Setiap tawa terdengar seperti bisikan masa lalu yang muncul kembali.

Mereka terus berjalan. Sampai akhirnya melewati bekas bangku kayu reyot di dekat warung tua yang sudah tutup.

“Di situ dulu kamu ngasih aku permen rasa kopi,” katanya pelan.
“Aku pikir kamu suka kopi, padahal itu permen sisa.”

Lelaki itu menatap bangku itu lama.
“Tapi dari situ aku mulai suka kopi beneran. Karena rasanya kayak kamu. Manis, tapi ninggalin rasa yang nggak hilang-hilang.”

Hening sejenak. Tapi bukan hening yang kikuk hening yang nyaman, yang penuh perasaan yang tak perlu dijelaskan.

Dan di tengah malam yang makin larut, langkah mereka masih menyusuri kampung yang tak banyak berubah kecuali mereka sendiri, yang kini membawa kenangan sebagai bekal untuk sesuatu yang mungkin… sedang tumbuh kembali.

---

Langkah mereka terhenti di sebuah undakan batu kecil, bekas tempat duduk anak-anak desa kalau sore menjelang maghrib. Mereka duduk bersebelahan, tapi tetap ada ruang di antara tubuh mereka ruang yang dulunya berisi janji, lalu hening, dan akhirnya… pergi.

“Aku masih inget malam terakhir kita ngomong,” katanya pelan, matanya menatap tanah.

Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia menunduk, lalu menarik napas panjang.

“Waktu itu kamu bilang… ‘Kita butuh waktu.’ Tapi aku denger itu kayak… kamu nyerah.”

Dia tersenyum pahit.
“Dan aku nunggu. Tapi kamu nggak pernah balik.”

Diam. Hanya suara malam yang menemani.

“Aku pikir kamu marah,” ujar lelaki itu. “Makanya aku nggak berani balik. Aku pikir kamu udah nyari bahagia yang lain.”

“Aku nggak marah…”
Dia menoleh, matanya berkaca. “Aku… kecewa. Karena aku pikir kita saling ngerti, tapi ternyata kita sama-sama diem waktu itu. Sama-sama takut ngomong. Sama-sama nyimpen rasa, tapi nunggu yang lain buat nyembuhin.”

Lelaki itu menatapnya dalam.
“Dan karena kita nunggu… akhirnya semua jadi terlambat.”

Mereka saling pandang. Kali ini tak ada lagi tawa. Tak ada lagi kata manis. Hanya kejujuran yang telanjang, dan luka yang perlahan dibuka kembali. Tapi bukan untuk disakiti lagi. Untuk disembuhkan. Pelan-pelan.

“Kamu tahu nggak?” katanya, suaranya nyaris berbisik.
“Luka yang nggak pernah ditutup… tetap terasa. Tapi rasanya beda. Sekarang… lebih lembut. Karena aku tahu, yang luka… bukan cuma aku.”

Lelaki itu hanya mengangguk, lalu menggeser duduknya lebih dekat. Tak menyentuh. Tapi kali ini jarak di antara mereka tak lagi dingin. Karena keduanya tahu bahwa sebelum bisa memulai lagi, mereka harus mengakui: mereka pernah sama-sama jatuh. Sama-sama hilang. Tapi juga… sama-sama belum benar-benar selesai.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya… mereka tidak lagi diam. Tapi saling terbuka. Saling sembuh.

Bersambung…
💚