Kau datang lagi,
membawa debu-debu rindu yang pecah,
mengguncang dinding-dinding kesabaran,
hingga retak-retak itu berbicara
dalam bahasa yang hanya air mata yang paham.
Aku terjaga di tengah malam buta,
mendengar langkah-langkahmu yang berat,
seperti hujan yang tak mau berhenti
menampar atap-atap ingatan.
Kau ajari aku tentang getir,
tentang bagaimana hidup kadang
hanya soal bertahan di antara
yang patah dan yang masih mencoba tegak.
Tapi di sini, di sudut sunyi ini,
aku pelan-pelan belajar:
bahwa badai bukan hanya tentang
angin yang merobek-robek tenang,
tapi juga tentang akar
yang semakin dalam mencengkeram bumi,
tentang tangan-tangan yang ternyata
lebih kuat dari yang kuduga.
Aku masih gemetar, ya,
masih ada getir di ujung lidah,
tapi di balik semua guntur yang kau bawa,
ada bisik kecil:
"Kau akan tumbuh dari sini,
seperti pucuk yang belajar
menembas tanah setelah musim kemarau."