Jumat, 16 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.8

 ---

Beberapa hari berlalu sejak pagi itu. Mereka tak lagi hanya saling diam. Sudah mulai ada obrolan ringan, tawa kecil, bahkan nostalgia yang bikin pipi memanas. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang belum dibicarakan. Sesuatu yang seperti bayangan di ujung mata—tak terlihat jelas, tapi terasa ada.

Suatu sore, saat mereka duduk berdua di pinggir pematang sawah, gadis itu akhirnya membuka suara.

“Aku pernah hampir nikah, tahu?” katanya tanpa menoleh.

Lelaki itu menoleh pelan. Diam.

“Orangnya baik, tapi aku nggak bisa… tiap kali dia pegang tanganku, yang aku ingat bukan dia.”

Ada jeda panjang. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menyapu daun padi.

“Dan kamu?” ia bertanya balik. “Pernah nyoba lupain aku bener-bener?”

Lelaki itu tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berat.

“Pernah. Lewat banyak cara. Tapi semua perempuan yang datang, nggak ada yang bikin aku tenang kayak waktu kita duduk bareng di gang belakang sekolah.”

Ia menarik napas panjang.
“Tapi sekarang… aku takut, kalau kamu dateng cuma karena belum nemu yang lebih tenang dari aku.”

Gadis itu menoleh cepat.
“Jadi kamu pikir aku cuma mampir?”

“Nggak… aku cuma takut kita berdua cuma datang karena sepi. Karena luka.”

Mereka saling menatap. Kali ini tidak hangat. Tapi juga tidak marah. Ini bukan pertengkaran, tapi kejujuran yang lama ditahan.

“Mungkin kita memang masih luka,” katanya pelan, “tapi aku datang bukan karena luka itu… aku datang karena kamu adalah tempat luka itu berhenti berdarah.”

Dan sore itu, mereka tak lagi duduk terlalu dekat. Masih berdampingan, tapi ada ruang yang diciptakan bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin berpikir.

Tentang apa yang sebenarnya mereka cari.
Tentang apakah mereka siap mencintai, bukan hanya saling mengobati.

---

Hari itu langit mendung. Awan-awan berat menggantung di atas kampung, dan angin bertiup membawa aroma hujan yang belum turun. Lelaki itu sedang berjalan menuju warung kecil di ujung jalan saat suara motor berhenti tepat di depan rumah gadis itu.

Ia menoleh.

Seorang pria turun dari motor bebek, mengenakan jaket lusuh, rambut agak acak, tapi ada kesan rapi yang disengaja. Lelaki itu tidak mengenalnya… tapi gadis itu keluar rumah beberapa detik kemudian dan matanya membesar.

“Reno?” suaranya nyaris tak terdengar.

Pria itu tersenyum. “Lama nggak pulang… tapi kamu masih sama. Cantik kayak dulu.”

Lelaki itu berhenti melangkah. Dari jauh, ia melihat cara pandang mata gadis itu—bukan cinta, tapi juga bukan benci. Lebih mirip kebingungan. Dan itu cukup untuk menyesakkan.

Beberapa hari setelahnya, Reno terlihat beberapa kali di kampung. Membantu orang tuanya yang sudah tua, menyapa tetangga, dan… mulai sering mampir ke rumah gadis itu. Kadang hanya ngobrol di beranda, kadang ikut bantu masak di dapur saat ibunya gadis itu minta tolong.

Lelaki itu hanya bisa menonton dari kejauhan. Ia mencoba bersikap biasa. Tapi setiap tawa mereka terdengar samar, seperti paku kecil yang mengetuk hatinya perlahan-lahan.

Hingga suatu malam, ia kembali duduk di teras rumah ibunya. Hujan turun deras. Angin kencang. Dan di bawah payung, ia melihat Reno mengantar gadis itu pulang. Payung hanya satu, dan mereka berjalan sangat dekat.

Saat itu, ia tahu perjalanan ini mungkin tidak akan mudah.

Karena luka bukan satu-satunya hal yang mereka bawa dari masa lalu.
Cinta lama… juga sedang mencari tempat pulang.


Bersambung....
;
🌹