Ibu masih memegang erat surat dari anaknya. Tapi matanya mulai menerawang, menembus jendela rapuh penuh kenangan. Di dalam benaknya, bayangan masa muda pun hadir perlahan…
Dulu, sebelum mereka menjadi orang tua, mereka juga dua anak muda biasa yang saling mencinta. Tak ada tukang pos Yang ada hanya secarik surat, yang disisipkan di pagar bambu tua.
Suaminya, yang kini berdiri di belakangnya dengan tangan di punggung, ikut tenggelam dalam kenangan. Ia tersenyum kecil, lalu berkata pelan:
"Inget gak, Bu… waktu aku tulis surat yang selipkan di celah pagar dulu, nulisnya pakai bolpen pinjem, nempel di bungkus nasi?"
Ibu tertawa kecil, air mata belum sempat kering.
"Dan kamu lupa nulis nama. Aku tebak dari tulisan miringmu yang jelek itu."
Tawa mereka lirih, tapi hangat. Meja kayu yang sama, tempat mereka dulu membaca surat cinta, kini menjadi tempat mereka membaca surat dari anak mereka. Waktu memang berjalan, tapi rasa… tetap tinggal.
Di sebuah kotak tua, tersimpan rapi surat-surat mereka dulu. Tulisannya sudah pudar, tapi isi hati yang tertuang di dalamnya masih jelas, seperti baru kemarin ditulis. Saat ibu membuka kotak itu, secarik kertas kecil jatuh:
"aku pengin dia tahu kita saling sayang bukan dari uang… tapi dari kata-kata."
Kini anak mereka pun menulis… dengan kata-kata yang penuh rindu. Dan mereka tahu, cinta yang dulu mereka tanam perlahan mulai berbuah.
---
Untuk Ayah dan Ibu,
Aku harap surat ini sampai ke tangan kalian tanpa membuat air mata menetes terlalu banyak. Meski aku tahu, surat dari anakmu ini… tak pernah benar-benar kering membacanya.
Ayah, Ibu…
Terima kasih sudah mengajarkanku bahwa menjadi kuat bukan soal menahan tangis, tapi soal tetap berjalan meski hati berat. Dulu aku menulis surat ini dengan tangan kecilku, menceritakan betapa aku ingin membuat kalian bangga. Sekarang, aku menulis sebagai lelaki muda yang mulai sadar… ternyata hidup di kota tidak sesederhana mimpi-mimpi yang kubawa dari desa.
Aku masih tinggal di kamar sempit, ibu. Tapi setiap malam aku menatap langit dari celah jendela yang retak, membayangkan wajah kalian di balik rembulan. Ayah… aku tahu punggungmu sudah tak sekuat dulu, dan Ibu… kau masih bangun lebih pagi dari matahari. Kadang aku ingin pulang, hanya untuk cium tangan kalian dan bilang: “Aku belum berhasil, tapi aku sedang berusaha.”
Aku ingat warung kecil kalian dulu… tempat kalian menabung harapan dari setiap sendok kopi yang dijual. Sekarang aku paham… itu bukan soal dagang, tapi soal bertahan hidup dengan cinta yang tidak pernah kalian sebut, tapi selalu aku rasakan.
Doakan aku terus ya, Ayah, Ibu. Doakan agar langkah ini tak goyah. Aku janji, bukan hanya akan membanggakan kalian dengan hasil… tapi juga dengan cara aku menjalaninya. Pelan, tapi pasti.
Salam rindu dari jauh,
Anakmu yang sedang belajar jadi laki-laki
"Ini bukan akhir dari rindu yang mencabik di tiap sunyi nya malam,
melainkan langkah pertama dari perjalanan panjang
yang di tempuh dengan dada yang rapuh namun tekad yang utuh,
menuju pelukan hangat yang dulu kusebut rumah."
Bersambung.....