Sabtu, 07 Juni 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.5

Ibu masih memegang erat surat dari anaknya. Tapi matanya mulai menerawang, menembus jendela rapuh penuh kenangan. Di dalam benaknya, bayangan masa muda pun hadir perlahan…

Dulu, sebelum mereka menjadi orang tua, mereka juga dua anak muda biasa yang saling mencinta. Tak ada tukang pos Yang ada hanya secarik surat, yang disisipkan di pagar bambu tua.

Suaminya, yang kini berdiri di belakangnya dengan tangan di punggung, ikut tenggelam dalam kenangan. Ia tersenyum kecil, lalu berkata pelan:

"Inget gak, Bu… waktu aku tulis surat yang selipkan di celah pagar dulu, nulisnya pakai bolpen pinjem, nempel di bungkus nasi?"

Ibu tertawa kecil, air mata belum sempat kering.
"Dan kamu lupa nulis nama. Aku tebak dari tulisan miringmu yang jelek itu."

Tawa mereka lirih, tapi hangat. Meja kayu yang sama, tempat mereka dulu membaca surat cinta, kini menjadi tempat mereka membaca surat dari anak mereka. Waktu memang berjalan, tapi rasa… tetap tinggal.

Di sebuah kotak tua, tersimpan rapi surat-surat mereka dulu. Tulisannya sudah pudar, tapi isi hati yang tertuang di dalamnya masih jelas, seperti baru kemarin ditulis. Saat ibu membuka kotak itu, secarik kertas kecil jatuh:

"aku pengin dia tahu kita saling sayang bukan dari uang… tapi dari kata-kata."

Kini anak mereka pun menulis… dengan kata-kata yang penuh rindu. Dan mereka tahu, cinta yang dulu mereka tanam perlahan mulai berbuah.


---
Untuk Ayah dan Ibu,

Aku harap surat ini sampai ke tangan kalian tanpa membuat air mata menetes terlalu banyak. Meski aku tahu, surat dari anakmu ini… tak pernah benar-benar kering membacanya.

Ayah, Ibu…
Terima kasih sudah mengajarkanku bahwa menjadi kuat bukan soal menahan tangis, tapi soal tetap berjalan meski hati berat. Dulu aku menulis surat ini dengan tangan kecilku, menceritakan betapa aku ingin membuat kalian bangga. Sekarang, aku menulis sebagai lelaki muda yang mulai sadar… ternyata hidup di kota tidak sesederhana mimpi-mimpi yang kubawa dari desa.

Aku masih tinggal di kamar sempit, ibu. Tapi setiap malam aku menatap langit dari celah jendela yang retak, membayangkan wajah kalian di balik rembulan. Ayah… aku tahu punggungmu sudah tak sekuat dulu, dan Ibu… kau masih bangun lebih pagi dari matahari. Kadang aku ingin pulang, hanya untuk cium tangan kalian dan bilang: “Aku belum berhasil, tapi aku sedang berusaha.”

Aku ingat warung kecil kalian dulu… tempat kalian menabung harapan dari setiap sendok kopi yang dijual. Sekarang aku paham… itu bukan soal dagang, tapi soal bertahan hidup dengan cinta yang tidak pernah kalian sebut, tapi selalu aku rasakan.

Doakan aku terus ya, Ayah, Ibu. Doakan agar langkah ini tak goyah. Aku janji, bukan hanya akan membanggakan kalian dengan hasil… tapi juga dengan cara aku menjalaninya. Pelan, tapi pasti.

Salam rindu dari jauh,
Anakmu yang sedang belajar jadi laki-laki 


"Ini bukan akhir dari rindu yang mencabik di tiap sunyi nya malam,
melainkan langkah pertama dari perjalanan panjang
yang di tempuh dengan dada yang rapuh namun tekad yang utuh,
menuju pelukan hangat yang dulu kusebut rumah."

Bersambung.....

Jumat, 06 Juni 2025

AMARAH JIWA YANG KOSONG

Hari-hari ketika manusia berjalan tanpa peta.
Mereka melangkah, tapi tak tahu menuju ke mana.
Mereka tersenyum, tapi tak tahu untuk siapa.
Mereka bekerja, mencintai, bertahan...
tapi di balik semua itu, ada ruang kosong yang menganga dalam dada.

Di tengah hiruk pikuk dunia, suara hati mereka makin samar,
seperti bisikan angin di tengah badai.
Mereka dulu punya mimpi,
dulu punya nyala yang membakar mata,
tapi perlahan, mimpi itu dikebiri oleh rutinitas,
oleh keharusan yang dipaksa dunia,
oleh ketakutan akan kekurangan.

Mereka lupa kenapa dulu berlari,
lupa kenapa dulu bersumpah pada diri sendiri.
Yang tersisa hanya tubuh yang berjalan otomatis,
dan hati yang kadang berteriak lirih dalam sepi.

Tapi, sesekali...
di antara gerimis malam atau sepotong senyum asing,
mereka mendadak teringat:
bahwa hidup bukan sekadar bergerak.
Bahwa ada alasan kenapa mereka pernah memulai.
Dan dalam sekejap, langkah kecil itu terasa berarti kembali,
walau dunia tetap bising,
walau hati tetap retak.

Mereka adalah kita.
Yang berjalan, jatuh, lupa...
lalu belajar untuk ingat lagi.


Mereka yang berjalan dengan mata kosong,
menyusuri lorong-lorong hidup tanpa arah,
menggenggam mimpi yang telah membusuk di telapak tangan.

Mereka tertawa di atas reruntuhan harapan,
berpesta di antara bangkai janji-janji lama,
menyeka air mata dengan tangan yang dipenuhi debu penyesalan.

Mereka pernah punya tujuan,
pernah bersumpah di bawah bintang,
pernah berteriak menantang langit.
Tapi kini, langit itu bisu,
dan mereka lupa bahkan pada suara mereka sendiri.

Mereka berlari bukan untuk sampai,
tapi karena takut diam berarti mati.
Mereka mencintai bukan untuk hidup,
tapi karena takut sendirian di dalam kubur sunyi bernama waktu.

Setiap malam,
mereka berbicara pada bayang-bayang sendiri,
bertanya tanpa berharap jawaban.

"Mengapa aku berjalan?"
"Untuk siapa aku bertahan?"
"Apakah masih ada tujuan, atau hanya sisa nafas yang belum mau padam?"

Dalam dunia di mana cahaya hanya janji yang dikubur terlalu dalam,
mereka terus melangkah,
mengukir jejak di tanah yang bahkan tidak mengingat nama mereka.


Namun dalam lubang terdalam dada mereka,
masih ada bara kecil yang membangkang.
Sekarat, mengerang, tapi tak mau padam.

Bara itu menggeliat,
menyakitkan,
seperti belati yang diputar perlahan dalam dada,
mengingatkan bahwa mereka dulu bukan hanya tubuh berjalan,
bukan hanya boneka tua yang dikendalikan jam.

Suatu malam, ketika dunia terlelap dalam pelukan palsu,
salah satu dari mereka terbangun,
menatap langit hitam yang tak lagi berjanji apa-apa,
dan berbisik dengan suara parau:

"Aku bukan milik dunia ini."
"Aku bukan mesin yang dibangun untuk lupa."

Lalu dengan langkah gemetar,
mereka mulai mencari:
bukan mencari jalan pulang,
bukan mencari kemenangan,
tetapi mencari dirinya sendiri
yang pernah terkubur hidup-hidup di bawah puing waktu.

---

Setiap tetes darah, setiap luka,
adalah bukti bahwa jiwa ini pernah melawan,
dan mungkin,
masih cukup hidup untuk bertanya lagi:

"Apa arti berjalan?"
"Apa arti bertahan?"

             "Di mana cahaya tak lagi dijanjikan,
di situlah langkahku jadi tanpa arti.
Aku lupa 
bukan karena tak peduli,
tapi karena dunia terlalu bising
untuk mendengar suara hatiku sendiri",

             "Ada bara yang menggerutu dalam dada,
menolak mati meski dunia memaksanya.
Ia tak nyala, tak padam,
hanya menunggu aku
untuk percaya bahwa aku masih bisa terbakar",

              "Bukan kemenangan yang kucari,
melainkan arti dari luka yang tak pernah sembuh.
Jika hidup hanyalah jalan tanpa ujung,
biarlah aku jadi jejak
yang tak pernah dilupakan tanah".

Minggu, 01 Juni 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.4

---
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika ia berdiri di depan rumah kayu itu. Sebuah tas sederhana menggantung di pundaknya isinya tak banyak, hanya pakaian secukupnya, buku-buku usang, dan sebungkus nasi yang dibungkus daun pisang buatan ibu.

Ibu berdiri di ambang pintu, matanya sembab meski berusaha tersenyum.

“Jangan khawatir soal kami di sini,” kata ayah pelan, “di tanah ini kami sudah terbiasa sendiri. Tapi kamu... kamu harus pergi untuk tahu bagaimana dunia di luar sana.”

Anak itu hanya mengangguk. Tak sanggup berkata-kata. Di dalam dirinya, ada gempuran rasa: senang karena diberi kesempatan, takut meninggalkan yang ia cintai, dan cemas pada dunia yang belum pernah ia lihat.

Sebelum melangkah, ibu memeluknya dari belakang. Pelukan itu seperti pelukan terakhir erat, lembut, penuh makna.

“Nak… jangan lupa dari mana kamu berasal. Dunia bisa besar, bisa membuatmu lupa arah… tapi hati yang kuat akan selalu pulang.”

Mobil putih itu akhirnya tiba. Ia menoleh ke orang tuanya. Ayah mengangguk dengan tatapan yang bicara lebih dari seribu kata. Ibu hanya menggenggam tangannya erat lalu melepaskannya perlahan.

Dan saat mobil mulai bergerak, ia menatap kaca belakang. Rumah kayu itu makin kecil… makin jauh… tapi di hatinya, itu adalah satu-satunya tempat yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.

---

Sejak kepergian anaknya, dapur itu tak lagi sama. Dinding kayu yang dulu penuh tawa kecil kini hanya memantulkan suara angin dan nyanyian kompor tua.

Ibu berdiri di sana seperti biasa mengulek sambal, menanak nasi, memasak sayur kesukaan anaknya yang kini hanya tersaji di meja tanpa tuan. Tangannya bergerak, tapi hatinya tertinggal di pagi itu… pagi terakhir saat sebuah pelukan kecil menyusup dari belakang, hangat, tulus, dan diam-diam membuatnya ingin waktu berhenti.

Kini tak ada lagi suara,
“Bu, aku bantu ya...”
Atau,
“Bu, hari ini kita makan pakai ikan asin, ya?”

Setiap suara langkah di halaman membuatnya menoleh. Siapa tahu… siapa tahu itu dia. Tapi yang datang hanya angin, menyusup membawa harapan yang belum kembali.

Ayah berusaha tegar, meski ia tahu istrinya sering menyeka air mata diam-diam, berpura-pura kelilipan bawang.

Malamnya, di pembaringan, ibu menggenggam kain sarung bekas anaknya. Menciumnya perlahan, seperti ingin menambal rindu yang tak pernah bisa utuh kembali.

“Semoga kau baik-baik saja di sana, Nak... Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang...”

---

Ibu tersentak saat melihat amplop lusuh yang diselipkan oleh tukang pos sore itu. Tulisannya tak rapi, huruf-hurufnya agak gemetar… tapi ia langsung tahu, ini dari anaknya.

Dengan tangan bergetar, ia duduk di kursi bambu depan dapur, membuka perlahan dan membaca dalam hening:


---

Untuk Ibu dan Ayah,
di rumah yang paling aku rindukan...

Ibu, Ayah…
Maaf baru bisa kirim kabar sekarang. Di sini semua terasa asing. Kota ini besar… tapi rasanya dingin, bukan karena angin, tapi karena tak ada suara Ibu memanggil dari dapur, tak ada Ayah yang duduk di kursi depan sambil membetulkan sepeda.

Aku belajar banyak di sini. Tapi sering kali aku lupa makan karena tak ada yang mengingatkan. Aku juga tak pernah lagi merasa senyaman waktu kita makan bareng di lantai rumah pakai tangan, rebutan sambal, dan tertawa.

Kadang aku menangis diam-diam di kasur kecilku. Rasanya seperti ada lubang di hati. Bukan karena sakit… tapi karena rindu.

Ibu,
Aku kangen masakan Ibu… kangen pelukan Ibu waktu aku takut. Dan Ayah… aku tahu Ayah mungkin gak bilang, tapi aku yakin Ayah juga sering lihat ke jalan berharap aku muncul.

Aku di sini baik-baik saja, Bu. Ayah. Tapi aku belum bisa jadi apa-apa. Belum bisa belikan Ibu kompor baru atau sepeda buat Ayah. Tapi aku janji… aku akan terus belajar. Supaya suatu hari, kita bisa duduk lagi bareng di dapur kayu itu, tanpa rasa cemas tentang besok.

Peluk aku dari jauh ya, Bu. Titip salam juga buat ayam kita, dan suara kodok malam yang selalu aku rindukan dan suara aneh", di setiap tengah malam juga.

Anakmu, yang tidak pernah lupa rumah.

---

Air mata ibu jatuh satu per satu ke kertas itu. Dipegangnya erat, dekat ke dadanya, seperti memeluk anaknya lewat tulisan.

Ayah datang, membaca surat itu diam-diam dari balik bahu istrinya… dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia menyeka air mata tanpa rasa malu.


Bersambung...

REL KERETA TUA

Kereta itu melaju tanpa suara,
Menembus senja yang mengaburkan mata.
Tiupan angin yang membawa debu kenangan,
Mengukir rindu yang tak pernah terucap.

Malam datang pelan, membawa beban,
Setiap derap langkah dalam kesendirian.
Dingin yang menusuk ke dalam hati,
Mengingatkan aku pada sesuatu yang hilang di ujung rel.

Tiada kata, hanya isyarat,
Hanya hembusan angin yang menyapa sepi.
Kereta itu terus berjalan,
Dan aku mengikuti jejaknya, tanpa tahu arah.

Selasa, 27 Mei 2025

ANGIN MASA SILAM

Malam merambat merangkul sunyi 
aku lebur dalam hangatnya bayang rembulan,  
Menghanyutkan angan yang lapang  
pada angin masa silam.  

Ada tangis tersekat di sela tulang,  
mendesak di antara rusuk yang telah tumbuh,  
bersama carut-marut dunia yang terus berderama.  

Semua terasa getir
syair-syairku mengalir, menguras hati  
yang tak lagi kuasa menahan  
mengurai janji-janji yang mengeras.  

Kini tawa kecil itu bagai denda,  
tak pernah sanggup kulunaskan.  
Ia memenuhi lorong-lorong hampa,  
sementara gelap malam menjadi saksi bisu.  

Biarkan kenangan larut dalam angin,  
agar setiap nafasku masih bisa merasakan. 
Langit yang tak pernah sudi menggenggam,  
kini tersedu oleh kelam yang lembut.  

Bintang-bintang tak lagi memaksakan terang  
Mereka diam, mendengar rintih yang tersumbat.  
Seperti aku tak mau lupa,  
tapi juga tak kuasa menggenggam.  

Senin, 26 Mei 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.3

Hari itu sekolah sedikit lebih cerah dari biasanya. Ia tak menyangka pagi tadi, ibunya menyelipkan sebuah amplop cokelat ke dalam tasnya. “Kamu ambil saja daftar study tour itu, Nak,” ucap ibunya sambil memalingkan wajah, seolah tak ingin terlihat goyah.

Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Amplop itu berisi cukup uang untuk biaya pendaftaran yang selama ini hanya jadi mimpi baginya. Tapi pertanyaannya cuma satu: dari mana?

Sepulang sekolah, ia tak langsung masuk ke rumah. Dari sela-sela dinding bambu, ia melihat ayahnya duduk di beranda, menggenggam sebungkus plastik kecil berisi kain batik dan sepasang gelang perak yang sudah dibungkus rapi. Plastik itu kosong.

Ia mengenali kain itu. Pernah sekali, di malam sunyi, ibunya memeluk kain itu sambil bercerita, “Dulu kami menikah hanya dengan itu, Nak. Tak ada emas, tak ada pesta. Hanya doa dan tekad.”

Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan. Tapi dadanya sesak. Ia masuk ke rumah perlahan, lalu duduk tanpa suara di dekat ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.

“Ibu… batik itu ke mana?” tanyanya pelan.

Ibu tak menjawab. Hanya mengaduk sayur lodeh lebih cepat, seakan mencari jawaban di dalam panci. Tapi air matanya jatuh, satu tetes, dua tetes, sambil mengaduk kuah yang hangat.

Ia memeluk ibunya dari belakang. Tak bicara, hanya membiarkan air matanya sendiri jatuh membasahi punggung perempuan yang telah mengajarinya segalanya termasuk mencintai tanpa syarat.

“Ibu… Ayah… aku nggak perlu ikut tour itu. Uang ini aku simpan. Nanti… aku bisa buat Ibu dan Ayah naik bus ke kota, bukan aku yang pergi duluan.”

Ayah mendekat. Tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan tangan di pundaknya. Di rumah yang penuh keterbatasan itu, cinta mereka mengalir dalam bentuk yang tak bisa dibeli.

Malam itu mereka makan bersama dalam diam. Tapi entah kenapa, semua terasa lebih hangat dari sebelumnya. Seperti ada pelita kecil yang menyala di dalam dada masing-masing tentang harapan, pengorbanan, dan cinta yang tak pernah meminta balasan.

--'

Beberapa hari setelah peristiwa itu, kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Ayah tetap ke sawah membawa cangkul tuanya, ibu kembali menanak nasi di dapur kayu yang dindingnya mulai lapuk, dan anak itu kembali berangkat sekolah dengan langkah ringan tapi hati yang penuh gejolak.

Di sekolah, ada yang berbeda hari itu. Seorang pria paruh baya berdiri di depan kelas bersama kepala sekolah. Bajunya sederhana, tapi sorot matanya tajam menandakan bahwa ia bukan sembarang orang.

"Anak-anak," ucap kepala sekolah, "ini Pak Yuda. Beliau sedang menjalankan program dari yayasan pendidikan yang mencari siswa-siswa dengan semangat tinggi dari desa kita."

Mata si anak terpaku. Ia tidak merasa dirinya istimewa. Tapi ketika mata Pak Yuda menangkap sorot matanya, seolah ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—seperti seseorang yang sedang mengenali dirinya dalam versi muda.

Pak Yuda meminta semua anak menuliskan cerita tentang "seseorang yang paling mereka kagumi dan apa pengorbanan terbesar yang pernah mereka saksikan."
Anak itu pulang dengan langkah lambat. Malam itu, di meja kayu reyotnya, ia menulis dengan pensil yang sudah pendek tulisan tangannya gemetar, tapi isinya jujur.

Ia menulis tentang ibu. Tentang dapur kayu yang beraroma asap. Tentang tangan kasar yang tetap lembut saat menyentuh pipinya. Tentang ayah yang diam tapi hadir, yang senyumnya lebih dalam dari kata-kata.

Seminggu kemudian, kepala sekolah memanggilnya. Di ruang kecil yang biasa dipakai rapat guru, Pak Yuda berdiri sambil memegang lembaran tulisannya. Matanya basah. "Nak... kamu menulis dengan hati. Kami ingin bantu kamu. Sekolah berasrama di kota sedang membuka satu beasiswa penuh. Aku yakin... kamu bisa sampai ke sana."

Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi di dalam hatinya, sebuah cahaya kecil menyala lebih terang dari sebelumnya.

Dan di balik jendela kelas itu, langit masih biru seperti biasa. Tapi harinya… tak lagi sama.

---


Malam itu angin berembus pelan. Rembulan menggantung di atas atap rumah kayu mereka. Di dapur yang remang, ibu masih menyiapkan air hangat. Ayah duduk di bangku bambu yang mulai rapuh, menatap ke arah luar rumah gelap yang dulu pernah penuh cahaya.

"Masih ingat nggak, Yah… warung kita dulu?" suara ibu pelan, nyaris seperti bisikan.

Ayah mengangguk. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, meski matanya tak lepas dari hamparan sawah yang kini sunyi.

 “Ingat. Dulu anak-anak suka nongkrong di situ, minta gorengan sambil nyolong lihat-lihat kamu…,” goda ayah setengah tertawa.

Ibu tertawa pelan. "Iya… dan kamu datang tiap sore, pura-pura beli kopi tapi sebenarnya nungguin aku sendirian."

Mereka terdiam sejenak. Suara jangkrik jadi musik latar. Ibu menarik napas panjang. “Warung itu dulu penuh tawa. Kadang capek, kadang sepi… tapi tetap hidup. Kita punya harapan.”

Ayah menatap dapur itu. Tempat ibu sekarang berdiri, memotong sayur di atas talenan kecil yang retak. "Sekarang… semuanya jauh lebih sunyi. Anak kita... hidupnya jauh dari apa yang dulu kita bayangkan."

Ibu mengangguk. “Aku dulu ingin dia sekolah tinggi, nggak usah ngerasain dinginnya tanah sawah. Tapi lihatlah... dia justru lebih kuat dari kita waktu muda.”

Air mata mengalir pelan di pipi ibu, tapi ia segera menghapusnya. “Kita mungkin gagal mewujudkan impian kita sendiri, tapi dia… mungkin dia bisa jadi satu-satunya harapan kita yang berhasil terbang.”

Ayah menggenggam tangan istrinya. “Biar kita di sini. Biar rumah ini tetap berdiri… kalau suatu saat dia pulang, ada tempat yang masih mengingat dia kecil.”

Malam itu mereka duduk berdampingan, mengenang masa muda mereka di warung kecil yang kini hanya tinggal kenangan. Di dada mereka, harapan untuk si anak tumbuh bersama rasa rindu yang tak pernah padam.


Bersambung...

TERMENUNG DI AWAL KEHIDUPAN

Dia duduk di tepi pagi,  
kabut menggulung tubuhnya  
seperti selimut yang lupa dirajut oleh waktu.  
Angin berbisik dari selasela telinga  
tentang nama-nama yang menguap  
sebelum sempat melekat.  

Di tangannya, ada dingin yang tak mau cair:  
remang-remang kenangan,  
jejak kaki yang terhapus embun.  
Matanya memungut bayangan 
dari pucuk pepohonan,  
lalu menaruhnya kembali  
ke dalam kantong sunyi.  

Dunia di luar sana terlalu terang,  
sedangkan dia 
masih menyimpan seluruh hujan  
di balik kelopak mata yang seakan tak mau pergi.

KISAH YANG TAKTERBACA

Dirimu seperti kisah yang tak pernah selesai,  
terbuka di halaman pertama, tapi 
terkunci dalam huruf-huruf yang hanya bisa kusentuh  
dalam gelap.  

Bibir itu, lembut bagai puisi yang terpotong,  
menyimpan nama-nama yang gagal diucapkan.  
Alismu adalah tanda tanya,  
menggantung di udara tanpa jawaban.  

Tapi mata itu…  
Mata itu adalah laut diam yang menenggelamkanku,  
mengirimkan badai lewat kesenyapan.  
Aku terjaga dalam pusarannya:  
terlalu dalam untuk berenang,  
terlalu sunyi untuk berteriak.  

Sabtu, 24 Mei 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.2

Malam itu hujan turun perlahan. Atap seng rumah mereka mengetuk lembut seperti irama doa. Di sudut ruangan yang hanya diterangi lampu minyak, ia duduk termenung. Tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian di sawah, tapi bukan itu yang membuatnya diam begitu lama.

Ia baru saja pulang dari sekolah, dan hari itu bukan hari yang mudah. Teman-teman sekelasnya sedang sibuk membahas rencana study tour ke kota. Semua terlihat antusias, saling bertukar cerita tentang baju apa yang akan dipakai, dan bekal apa yang akan dibawa.

Ia hanya tersenyum kecil dari jauh. Tak banyak bicara. Ia tahu, uang untuk ikut study tour itu setara dengan satu bulan beras di rumah. Bahkan mungkin lebih. Jadi, ia hanya diam. Lagi-lagi memilih menelan rasa ingin, sendirian.

Salah satu temannya sempat bertanya, "Kamu ikut, kan?"

Ia menjawab singkat, “Nggak bisa.”

Tak ada yang tahu bahwa sepulang sekolah, di jalan setapak menuju rumah, air matanya jatuh satu per satu. Tak ada yang melihat, dan ia pun tak mengusapnya. Biarlah hujan menyamarkannya.

Sampai di rumah, ia tetap tersenyum di depan ibu dan ayahnya. "Belajar tadi asik," katanya, berusaha menyembunyikan guncangan di dada. Ia tahu, orang tuanya sudah cukup letih dengan beban mereka sendiri. Tak perlu ditambah lagi dengan kesedihan miliknya.

Malam itu, saat semua sudah terlelap, ia menghadap langit-langit kamar dan berbisik lirih, “Kalau memang belum waktunya aku bahagia, tak apa. Asal nanti... aku bisa buat mereka bahagia lebih dulu.”

Di balik tubuh yang terlihat kuat, ia adalah remaja yang juga butuh dipeluk. Tapi malam dan sepi menjadi satu-satunya teman yang tahu betapa keras ia berjuang, bukan hanya di dunia luar, tapi juga di dalam dirinya 

---

Ibu duduk diam di depan tungku. Asap dari kayu bakar perlahan memenuhi dapur kecil yang temaram. Di tangannya, ada sebuah kotak kayu tua tertutup debu, tapi penuh makna. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya ada sepasang gelang perak dan kain batik halus yang dulu pernah mereka pakai saat menikah.

Dari ruang depan, ayah hanya melihat dengan pandangan kosong. "Kamu yakin...?" tanyanya pelan, suaranya serak menahan emosi.

Ibu tak langsung menjawab. Jari-jarinya menyentuh lembut kain batik itu, seolah ingin menyimpan hangatnya untuk terakhir kali. Lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, "Kita bisa buat kenangan baru... tapi masa depan anak kita, mungkin hanya bisa kita bantu sekali ini."

Ayah memejamkan mata. Hatinya hancur, tapi ia tahu, ia dan istrinya telah memutuskan satu hal besar: menjual benda berharga satu-satunya yang mereka simpan sejak dulu. Itu bukan sekadar benda. Itu saksi cinta mereka saat tak punya apa-apa selain harapan. Tapi sekarang, cinta itu harus diwujudkan bukan lewat benda, melainkan pengorbanan.

Mereka tahu anak mereka diam-diam menahan luka. Mereka tahu ia ingin ikut study tour, ingin merasakan sedikit dari kehidupan remaja yang normal. Tapi mereka juga tahu anak itu terlalu kuat, terlalu sabar, sampai tak pernah meminta apa-apa.

Besok pagi, ayah akan membawa gelang perak itu ke kota. Dan kain batik akan ditukar pada seseorang disana yang mau membayar dengan uang tunai.

Malam itu, di kamar kecilnya, remaja itu kembali menatap langit. Ia tidak tahu, bahwa di balik dinding rumah, kedua orang tuanya sedang menggenggam kenangan mereka erat-erat untuk dilepas esok hari, demi buah hati nya.


Bersambung...

GUGUR DALAM DIAM

kelopak bunga itu jatuh

dari senja yang patah
menimpa daun cempaka  
seperti rindu yang tak sempat  
terucap

Angin berbisik  
tentang halaman rumah  
yang kini jadi puing rindu
Berbisik pada kenangan  
yang gagal jadi sejarah  


Dan waktu...
Diam seribu bahasa
mengunyah sunyi  
sampai tak tersisa  
kecuali bayangmu  
di ranting senja yang padam

Jumat, 23 Mei 2025

SENDU

Matahari Senja
Bagai fatamorgana di tengah sepinya gurun sahara,

menari dalam cahaya lembut,"

menggoda setiap langkah yang sudah letih.

Dan di sana, di ujung langit yang pudar,
cerita-cerita yang tak pernah terucap,
berbisik dalam bait yang sendu 
tersimpan di balik awan,

seperti kenangan yang tak mau pergi."

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.1


Di sebuah desa yang sederhana, hiduplah seorang remaja yang berbeda dari teman-teman sebayanya. Ia bukan anak yang tumbuh dengan kemewahan, bukan pula yang punya waktu untuk bersenang-senang seperti remaja lain nya. Namun, satu hal yang tak pernah hilang darinya: semangat dan harapan bangkit bersama kasih sayang bunda nya.
---
Ayah dan ibunya menyayanginya dengan sepenuh hati, meski mereka tak bisa memberikan segalanya. Mereka bukan keluarga kaya, tapi cinta di rumah itu tak pernah kurang. Setiap pagi, remaja ini bangun lebih awal dari teman-temannya. Bukan untuk bermain, tapi untuk membantu ibunya di sawah. Tangannya yang kecil terbiasa menggenggam cangkul dan mencabuti rumput, bukan memegang gadget atau menikmati kopi di kafe seperti anak kota nan jauh di sana.

Hidupnya sederhana, tapi cita-citanya besar. Dalam diamnya, ia sering menatap langit sambil berdoa, berharap suatu hari nanti bisa mengubah nasib keluarganya. Ia ingin melihat senyum bangga di wajah ayah dan ibunya. Ia ingin membahagiakan mereka, membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik. Dan jauh di lubuk hatinya, ia juga berharap bisa menemukan pasangan hidup yang bisa menerima dirinya dengan hati yan tulus. yang bisa berjalan bersamanya dalam suka dan duka.

Remaja ini tahu, jalan yang ia tempuh tak mudah. Tapi ia percaya, kerja keras dan doa takkan pernah sia-sia. Di tengah semua keterbatasan, ia terus melangkah. Bukan karena terpaksa, tapi karena cinta cinta pada keluarga, pada harapan, dan pada masa depan yang ia impikan

---

Fajar belum benar-benar merekah. Kabut tipis masih menggantung di atas pematang. Dingin pagi menembus kain tipis yang membungkus tubuhnya, tapi ia sudah berdiri di tepi sawah bersama ibunya. Tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, hanya helaan napas pelan yang dihembuskan dengan penuh ketabahan.

"Ibu, mulai dari sini ya?" tanyanya pelan, sambil menggulung celana sampai ke lutut.

Ibunya mengangguk, wajahnya lelah tapi hangat. Mereka tahu, hari ini akan panjang. Tapi juga tahu, mereka tak sendiri selalu berdua dalam perjuangan yang sunyi ini.

Sambil mencabuti rumput liar dan merapikan tangkai-tangkai padi, pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan suatu hari nanti bisa melihat ibunya duduk santai di teras rumah yang lebih baik. Tak lagi harus membungkuk di sawah, tak lagi harus menyimpan rasa sakit di pinggangnya yang mulai menua. Ia ingin mengubah segalanya walau saat ini, belum tahu caranya.

Di sekolah, ia tidak seperti teman-teman lainnya. Tidak punya sepatu baru, tidak bisa ikut les tambahan, apalagi main ke kota. Tapi ia tidak iri. Dalam diam, ia justru belajar melihat dunia dari sisi lain. Sisi yang mengajarkan bahwa bahagia bukan soal punya banyak, tapi tahu caranya bersyukur.

Hari itu pun berlalu. Setelah matahari tinggi, ia pulang ke rumah membawa nasi sisa dan dua ikat bayam. Ia tak malu. Justru ia bangga, karena semua itu hasil tangannya sendiri. Di dalam hatinya, ia menyimpan satu keyakinan: bahwa langkah kecil hari ini akan jadi pondasi besar untuk masa depan.

Dan malam itu, sebelum tidur, ia kembali menatap langit dari jendela kamar mungilnya.

“Semoga esok membawa harapan baru,” gumamnya lirih.


Bersambung....


Kamis, 22 Mei 2025

BOCAH BOCAH KESEPIAN

Bocah-bocah kesepian  
menangis di sudut kota,  
air mata mereka mengalir  
ke selokan-selokan yang tak peduli.  

Bocah-bocah kesepian  
berjalan di jalanan sunyi,  
kaki kecil mereka menginjak  
reruntuhan mimpi yang hancur.  

Bocah-bocah kesepian  
tidur di bawah jembatan,  
dihantui dingin malam  
dan suara-suara yang tak pernah menjawab.  

Bocah-bocah kesepian  
memandang langit kelam,  
bertanya pada bintang-bintang bisu,  
"Apakah ada yang masih ingat kami?"  

Bocah-bocah kesepian  
menjadi bayangan yang hilang,  
tersapu angin, lenyap ditelan waktu,  
tanpa jejak, tanpa suara.  

Bocah-bocah kesepian  
adalah kita yang dulu,  
tersesat dalam dunia  
yang tak pernah sungguh-sungguh memeluk.  

Rabu, 21 Mei 2025

Harapan yang tak Pernah pupus...eps.11

Pagi itu, udara terasa segar setelah hujan semalam. Embun masih menempel di ujung daun, dan suara ayam peliharaan mulai ramai di belakang rumah. Gadis itu baru saja selesai menyapu halaman saat ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Ndok… ada tamu.”

Ia melangkah ke ruang tamu dengan langkah santai. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Di sana, lelaki itu duduk rapi, mengenakan kemeja putih yang jarang dipakainya, celana hitam, dan wajah yang sedikit pucat mungkin karena gugup. Di sampingnya, ada dua orang: ibunya, dan seorang paman dari kota.

Gadis itu tercekat. Pandangan mereka bertemu. Lelaki itu tidak senyum seperti biasa wajahnya serius, tapi matanya tetap hangat.

“Aku datang… bukan cuma untuk ngobrol atau ngopi,” katanya pelan. “Aku datang untuk minta izin.”

Gadis itu menelan ludah. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku tahu hidup kita nggak mewah, nggak sempurna. Tapi aku mau kita jalanin bareng. Aku mau bangun pagi dan ngelihat kamu lagi masak air. Aku mau sore-sore duduk di teras sambil melihat masa depan. Aku mau punya rumah kecil, yang setiap sudutnya ada kamu.”

Ibunya gadis itu menoleh pelan. Tidak kaget, tapi ada air yang menggenang di matanya juga.

“Ndok… kamu gimana?” tanya ibunya lembut.

Gadis itu menunduk sebentar. Lalu melangkah pelan ke depan lelaki itu.

“Aku pernah ragu sama cinta, pernah takut mulai dari awal. Tapi kamu… kamu bukan awal, kamu rumah,” katanya dengan suara bergetar. “Kalau kamu siap hidup bareng aku dengan semua ketidaksempurnaan aku siap juga.”

Lelaki itu tersenyum, dan kali ini senyum itu penuh lega.

Tak ada cincin mewah hari itu. Tapi ada genggaman yang erat. Ada peluk haru dari keluarga. Dan ada suara hati yang tahu: ini bukan akhir dari kisah, ini baru permulaan.


Hari-hari setelah lamaran berjalan cepat. Kampung mulai ramai dengan kabar. Tetangga yang biasanya hanya menyapa kini mulai bertanya, “Undangannya kapan, Mbak?” atau “Wah, Mas-nya cocok banget sama dia, lho!”

Di rumah gadis itu, aktivitas mulai padat. Ibunya sibuk mencatat daftar tamu, adiknya menggambar denah kursi dari kardus bekas, dan gadis itu sendiri bolak-balik ke tukang jahit sambil membawa contoh model kebaya dari ponsel.

Tapi di balik itu semua, ada percakapan-percakapan kecil yang lebih penting dari seribu dekorasi.

“Aku mau acaranya sederhana aja ya, yang penting sah,” katanya saat duduk berdua di bawah pohon mangga di belakang rumah.

Lelaki itu mengangguk. “Aku juga. Yang penting kita berdua, keluarga, dan doa-doa baik dari orang sekitar.”

Tapi ternyata tak semuanya mudah. Ada satu malam di mana mereka duduk agak jauh. Suasana hening.

“Aku kepikiran soal Reno,” gadis itu akhirnya berkata.

Lelaki itu menoleh, pelan. “Masih ada rasa?”

Gadis itu menggeleng. “Bukan itu. Tapi… aku nggak enak kalau dia dengar kabar ini dari orang lain. Kita dulu pernah terlalu dekat untuk mengakhirinya dengan diam-diam.”

Keesokan harinya, gadis itu menulis surat. Bukan panjang, hanya beberapa kalimat. Tapi cukup untuk menyampaikan: bahwa hatinya sudah berpulang, dan bahwa ia berharap masa lalu bisa tetap dikenang, bukan digenggam.

Sementara itu, lelaki itu mulai merenovasi kamar depan di rumah ibunya. Sederhana saja cat ulang, rak buku kecil, dan ranjang kayu yang ia buat sendiri bersama pamannya. Setiap paku yang ia ketuk, seolah ia menancapkan harapan untuk hari-hari baru yang akan mereka jalani bersama.

Malam sebelum hari H, mereka berbicara lewat jendela yang bersebelahan, seperti dua anak remaja dulu.

“Kamu siap?” tanya lelaki itu pelan.

Gadis itu tersenyum, menatap langit yang penuh bintang.

“Lebih dari siap. Karena kali ini, aku nggak datang karena luka… aku datang karena aku sudah pulih, dan ingin memulai hidup baru bareng kamu.”

---


Hari pernikahan tinggal sepuluh hari lagi.

Kebaya sudah dijahit rapi, undangan sebagian sudah disebar, dan menu catering sudah dicicipi. Tapi justru di saat segalanya mulai siap, hati mereka malah mulai gelisah.

Malam itu, gadis itu duduk sendirian di dapur, menggenggam cangkir teh yang tak lagi panas. Ibunya sudah tidur, dan rumah sunyi. Ia membuka pesan lama percakapan terakhir dengan Reno. Tidak untuk membuka luka, tapi sekadar memastikan bahwa hatinya tidak salah pilih.

Dan saat itu juga, notifikasi masuk. Nama yang muncul membuat jantungnya sejenak berhenti berdetak.

Reno: “Boleh ketemu sebentar?”

Gadis itu menatap layar lama sekali. Tak dibalas, tapi juga tak dihapus.

Sementara di rumah lelaki itu, suasana tak kalah rumit. Ia baru pulang dari warung saat melihat seseorang duduk di pinggir jalan, di bawah lampu jalan yang remang.

Reno.

“Aku nggak datang buat ganggu,” katanya pelan. “Aku cuma mau bilang… kalau aku nyesel.”

Lelaki itu tak menjawab. Tapi genggaman tangannya di kantong celana mengepal.

“Dia gadis baik, dan aku tahu kamu juga. Tapi kalau besok-besok dia lihat ke belakang, dan ternyata masih ada aku dalam bayangannya, kamu siap?”

Kalimat itu seperti hantaman. Bukan karena ia takut kehilangan, tapi karena ia tahu: cinta bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang ketulusan menerima apa adanya termasuk masa lalu yang tak bisa dihapus.


---


Tiga hari sebelum pernikahan, mereka bertemu di tempat biasa pematang sawah yang dulu sering jadi saksi diam-diam mereka.

Gadis itu menatapnya dengan mata merah karena kurang tidur.

“Aku ketemu Reno,” katanya jujur.

Lelaki itu mengangguk. “Aku juga.”

Sunyi sebentar.

“Masih yakin sama aku?” tanyanya, nyaris berbisik.

Lelaki itu tak menjawab cepat. Ia menatap ke arah langit, lalu kembali ke wajah gadis yang kini akan menjadi istrinya.

“Aku nggak pernah setakut ini dalam hidupku,” ujarnya, jujur. “Tapi justru karena itu aku tahu, kamu penting banget. Kalau nggak, aku nggak akan segelisah ini.”

Gadis itu tertawa kecil, getir. “Aku juga takut. Tapi lebih takut kalau kita menyerah cuma karena masa lalu yang belum benar-benar pergi.”

Dan di bawah langit senja, mereka saling menggenggam tangan. Lebih erat dari sebelumnya. Bukan karena cinta yang membara, tapi karena keputusan yang sudah bulat.

Mereka tahu, cinta yang besar bukan tentang siapa yang paling indah di ingatan, tapi siapa yang paling kuat untuk berjalan bersama di masa depan.


TAMAT

***

           "berbunga dan mekarlah bersama indah nya mentari pagi",




getir yang berkarat

Gema rintihan hatiku
telah lama pupus
diterjang badai kehidupan
yang tandus dan kejam

Kini sirna 
digulung ombak penyesalan
yang tak memberi ampun
menyeruak jadi benalu
dalam gelap yang diam-diam menelan

Meski hujan membasahi bumi,
tak setetes pun angin
rela melihat bunga
tumbuh dan bersemi

Neraka kepedihan,
cakrawala penderitaan
terbuka lebar,
menelan getir yang berkarat
di dada yang luka

Langit bisu menatap
langkah-langkah yang terseret
pada jalan berlumpur
berhiaskan duri-duri kesendirian

Tak ada tangan yang menggenggam
hanya bayang masa lalu
menari di balik kabut
menyiksa dalam diam yang tak kunjung reda

Namun dalam bayang kelam,
ada satu cahaya kecil 
redup tapi setia,
yang menolak padam meski dihempas ribuan malam

Cahaya itu, barangkali
adalah suara hatiku sendiri,
yang lelah menangis
namun belum mau mati

matahari kecilku

Perasaan ini terlalu lembut untuk kusentuh
Bagaikan malam menggulung gelap,
Dinginnya hati tanpa selimut yang utuh
Membuatku tersapu dalam kelam.

Matahari kecilku, kaulah pelita jiwaku

Yang diam tanpa kata, terbentuk tanpa rupa,
Namun jejakmu membekas
jauh di pelupuk dada 
Seperti embun yang tak pernah jatuh
tapi selalu ada.

Dan jika malam terlalu panjang tuk kujalani,
Biarlah bayangmu jadi payung langitku,
aku tak perlu pelukan dunia 
cukup hangatmu,
walaupun takpernah nyata 
namun selalu terasa.

Minggu, 18 Mei 2025

Rintihan jiwa pendosa

Oh jiwa,
kau sedang gundah gulana di pagi yang indah ini.
Apa yang membuat tawamu tertahan
bagai kelopak bunga
yang enggan mekar oleh cahaya pagi

Mungkinkah…
di sana ada rindu yang kau sembunyikan,
yang tak kau izinkan menangis

Biarlah begitu,
karena waktu akan tetap berjalan,
mengiringi lampu-lampu jalan
yang perlahan padam.

Tenanglah…
kau akan kubawa pulang hanya lewat jalan-jalan sunyi ,dalam bait rintihan jiwa pendosa yang memohon ampunan jagat penguasa semesta.

Harapan yang tak pernah pupus...eps.10


---

Hari-hari setelah itu berjalan tanpa drama. Tak ada janji-janji manis, tak ada genggaman tangan yang buru-buru. Tapi juga tak ada keraguan yang menggelayut.

Mereka kembali duduk di pematang. Kadang bicara, kadang diam saja. Tapi diam itu bukan lagi sepi—diam itu jadi ruang untuk merasa. Untuk membiarkan hati saling membaca tanpa harus selalu bicara.

Suatu malam, mereka duduk di bawah langit penuh bintang. Angin desa yang tenang membelai lembut, dan suara air irigasi terdengar mengalir dari kejauhan.

“Aku pernah nulis surat buat kamu,” gadis itu berkata tiba-tiba.

Lelaki itu menoleh. “Kapan?”

“Dulu. Waktu kamu mulai jaga jarak... Tapi surat itu nggak pernah aku kirim. Aku takut kamu marah. Atau sedih. Atau malah datang dan bikin aku ragu lagi.”

Ia tertawa kecil. “Tapi lucunya, waktu aku lihat kamu duduk di pemakaman waktu ayahku meninggal… aku tahu, kamu nggak pernah benar-benar pergi.”

Lelaki itu hanya menatap bintang, matanya tenang. Tapi dadanya hangat.

“Sekarang suratnya masih ada?”

Gadis itu mengangguk. “Ada. Tapi udah nggak penting isinya. Karena sekarang aku bisa ngomong langsung.”

Ia menatap lelaki itu, lebih lama dari biasanya.

“Aku masih belajar. Belajar mencintai tanpa takut gagal. Belajar menerima kamu bukan sebagai laki-laki yang aku tunggu, tapi laki-laki yang tetap tinggal meski aku sempat pergi.”

Lelaki itu tersenyum kecil. “Dan aku belajar mencintai kamu… bukan sebagai gadis yang dulu aku bayangin. Tapi sebagai perempuan yang datang kembali, lebih kuat, lebih jujur.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidak menciptakan ruang di antara mereka.

Mereka duduk berdekatan, bahu saling menyentuh. Bukan sebagai pelarian. Bukan sebagai pelengkap luka. Tapi sebagai dua orang yang memilih untuk tetap di sini—meski masa lalu pernah membuat mereka ingin pergi.

---

Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Tak ada pengumuman resmi, tak ada pernyataan baru yang keluar... Tapi mereka mulai sadar mulai paham: mereka kembali dekat, dan kali ini tampak lebih dewasa.

Suatu sore, di teras rumah gadis itu, mereka duduk sambil mengupas jagung untuk dikeringkan. Tangannya sibuk, tapi obrolan mereka ringan dan mengalir.

“Aku kepikiran bikin warung kopi kecil di dekat sawah,” lelaki itu membuka suara, menahan senyum malu. “Bukan kafe yang gaya… cuma tempat ngopi buat petani yang baru panen atau yang lagi istirahat.”

Gadis itu mengangkat alis. “Lah, idenya lucu juga. Bisa sekalian jual pisang goreng sama singkong rebus.”

“Persis,” katanya semangat. “Aku juga bisa bantu nyeduh, kamu yang nyiapin camilan. Kita bikin kecil-kecilan dulu, depan rumah aja.”

Ia tertawa kecil. “Niatnya dagang, tapi romantis ya.”

Lelaki itu nyengir. “Kalau dagang bareng kamu, aku yakin untungnya nggak cuma duit.”

Gadis itu hanya menunduk sambil senyum, tapi pipinya memerah.

Hari demi hari, rencana-rencana kecil itu terus bermunculan. Tentang warung kopi sederhana. Tentang halaman belakang yang bisa ditanami cabai dan tomat. Tentang kandang ayam kecil. Tentang motor tua yang bisa dicicil bersama, supaya bisa antar hasil kebun ke pasar.

Bukan mimpi besar. Tapi mimpi yang terasa mungkin. Terasa hangat. Terasa cukup.

Suatu malam, di bawah bintang yang sama seperti dulu, mereka berdua duduk lagi di pematang sawah. Tapi kali ini, bukan untuk mengingat masa lalu melainkan membayangkan masa depan.

“Kamu yakin nggak akan bosan?” tanya gadis itu.

Lelaki itu menatap wajahnya yang diterangi cahaya bulan. “Kalau sama kamu, aku nggak nyari hidup yang serba wow tapi serba ada juga boleh. Aku nyari hidup yang tenang. Yang ada kamu tiap pagi dan malam. Yang kalau capek, bisa cerita. Kalau hujan, bisa bareng-bareng narik jemuran.”

Gadis itu tertawa kecil, lalu menyandarkan kepala di bahunya.

“Kalau gitu… ayo kita mulai. Pelan-pelan, asal bareng.”

Dan malam itu, tak ada janji manis yang diumbar. Tapi mereka tahu—hidup baru itu tidak lagi di awang-awang. Sudah mulai tumbuh, dari obrolan kecil, dari tawa ringan, dari keberanian untuk percaya lagi


Bersambung.....

pupus

Langkah-langkahku tertatih,
Menyusuri lembah keabadian luka,
Dalam gulita yang membungkus malam tanpa janji,
Embun pun menyerah,
Diseret habis oleh teriakan mentari tanpa belas kasih.

Kelopak bunga seruni,
Luruh kering tanpa sempat bermimpi,
Menghantarkan aroma kematian
Di sela-sela desir angin yang patah.

Cakrawala hatiku,
Menyusut menjadi retakan kecil,
Menganga bisu dalam debu-debu busuk kehidupan.
Luka menganga, membusuk dalam diam,
Tetesan darahnya bukan lagi doa,
Melainkan sumpah bisu
Yang karam bersama cahaya yang menghilang.

Bunga yang malang

Bunga mawar di tengah semak belukar,
Tumbuh sendiri dalam diam,
Bukan di taman istana,
Tapi di tanah retak yang tak dijamah mata.

Cahayamu menembus jauh,
Menyusup ke relung rasa yang nyaris beku,
Menggugah jiwa yang lama tertidur,
Dengan keharuman yang tak pernah kau pamerkan.

Mawar liar,
Kau tak bergandeng dengan anggrek dari kaca,
Tak berdansa dalam festival cahaya,
Namun sinarmu 
Melampaui kemilau palsu dari bintang-bintang buatan.

Kau hidup bukan untuk dilihat,
Tapi untuk mengingatkan,
Bahwa keindahan sejati tak perlu panggung,
Cukup dengan keberanian untuk tumbuh…
meski di tanah penuh duri.

Dalam pelukan semak belukar,
Kau merangkul kesepian,
Menjadi saksi bahwa luka pun bisa berakar,
dan rasa sakit bisa melahirkan cahaya.

Mawar liar,
Kau bukan simbol kelemahan,
Tapi bukti bahwa hal paling indah,
Sering lahir dari tempat yang paling gelap.

bayang kesunyian

Malam yang menyimpan pesona sunyi,
Seperti lukisan tanpa warna, hanya bisa dilihat oleh hati yang luka.
Bayangmu berjalan di ujung cahaya,
hilang...
perlahan seperti kabut pagi
yang dicuri mentari.

Hati ini menadah gemetar,
mencari sisa jejakmu di antara bisik angin,
namun yang tertinggal hanya dingin,
dan kenangan yang tak pernah selesai dihapus waktu.

Sabtu, 17 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.9

---

Sejak malam itu, lelaki itu mulai menjaga jarak. Bukan karena menyerah, tapi karena tak ingin jadi penonton dalam cerita yang mungkin bukan untuknya. Ia tetap menyapa gadis itu saat berpapasan, tapi tak lagi singgah. Tak lagi duduk lama di pematang atau berbagi tawa kecil.

Dan gadis itu… juga tak menjelaskan apa pun.

Sampai suatu pagi, saat hujan baru reda, ia datang. Berdiri di depan rumah lelaki itu, mengenakan jaket tipis, rambutnya lembap, mata bengkak seperti habis menangis.

“Aku nggak nyangka kamu bakal pergi kayak gitu,” katanya.

Lelaki itu membuka pintu, menatapnya pelan. “Aku nggak pergi… cuma nggak tahu harus gimana.”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. “Reno nggak minta apa-apa. Dia cuma pulang. Tapi kamu... kamu malah pergi pas aku butuh kamu tetap di situ.”

Sunyi lagi. Suara air menetes dari atap terdengar jelas.

“Kalau kamu butuh aku tetap di situ,” lelaki itu akhirnya berkata, “kenapa kamu nggak bilang? Kenapa kamu biarin aku ngerasa kayak orang asing di tengah cerita kalian?”

Gadis itu menunduk. “Karena aku juga bingung. Aku kira aku udah selesai sama semua itu. Tapi waktu dia datang, semua kenangan yang udah aku kubur... muncul lagi.”

“Dan kamu pengen balik ke dia?”

Dia menggeleng. Cepat.

“Enggak. Tapi aku juga belum tahu gimana caranya jujur ke diriku sendiri… kalau mungkin, aku belum bener-bener selesai.”

Lelaki itu mengangguk pelan. “Kalau gitu, selesain dulu. Jangan bawa aku ke perang yang belum kamu menangkan.”

Gadis itu menatapnya. Ada air mata yang jatuh, tapi tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Hanya keheningan dan angin yang membawa aroma basah dari tanah kampung.


---

Beberapa minggu berlalu.

Gadis itu jarang terlihat. Reno masih kadang lewat, tapi tidak sesering sebelumnya. Lelaki itu kembali duduk di gang belakang sekolah—tempat kenangan mereka dulu tinggal. Di sana, ia belajar untuk melepaskan, bukan dengan marah… tapi dengan mengerti.

Dan suatu senja, saat langit berwarna oranye keunguan, gadis itu datang lagi. Duduk di sebelahnya, diam.

“Kamu tahu,” katanya lirih, “aku akhirnya bilang ke Reno. Bahwa aku udah bukan gadis yang sama. Dan dia juga bukan laki-laki yang pernah aku tunggu.”

Lelaki itu menatapnya, tak berkata apa-apa.

“Aku nggak tahu kamu masih nunggu, atau udah pergi,” katanya, menoleh pelan. “Tapi kalau kamu masih di sini… aku pengen mulai dari nol. Bukan karena sepi, bukan karena luka. Tapi karena aku milih kamu, sekarang, dengan sadar.”

Lelaki itu menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kalau gitu, kita mulai dari nol. Tapi jangan buru-buru. Kita jalan pelan aja. Karena cinta yang kita mau… bukan buat gantiin luka, tapi buat nemenin tumbuh.”

Dan sore itu, mereka duduk cukup dekat. Masih ada ruang, tapi kali ini bukan karena ragu. Tapi karena tahu—cinta butuh ruang untuk tumbuh, bukan untuk terburu-buru.



Bersambung....

Rembulan di balik awan

Rembulan bersinar redup,
Di balik awan ia sembunyi, menunggu seperti bayang,
Menyimpan kisah yang hanya bisa aku baca lewat sajak kerinduan

Harum mewangi aroma bayangmu menyelimuti malam, menambah hangat rasa.
Namun hati ini, tetap tenggelam di dalam gelap,
Seperti arus yang tak pernah bisa dihentikan,
Menarik setiap hela nafas, jauh ke dasar.

Tenggelam dalam pesona yang tak terungkap,
Rembulan menjadi saksi sunyi perjalanan jiwa,
Hati ini terus mencari, namun tak pernah menemukan.
Raut wajahmu adalah peta yang tak bisa kubaca.

Rindu

Rinduku padamu tak pernah sopan,
Datang tiba-tiba, mendobrak sunyi malam.
Ia tak mengetuk pintu dada,
Langsung menyelinap, mengusik jiwa.

Di tiap bait yang kutulis, kau sembunyi di antara huruf,
Seperti angin yang diam-diam mencumbu daun kering.
Tak terlihat, tapi terasa…
Tak bersuara, tapi menggema.

Ya itu kamu, rinduku ini bukan sekadar kata,
Ia hujan yang tak sabar jatuh di musim kemarau.
Kau adalah nama yang terus kupanggil,
Bahkan saat bibirku diam, hatiku tetap ribut mencarimu.

kilau cahaya sendu

Matahari senja,
bagai fatamorgana di tengah sepinya gurun sunyi,
menari diam, tanpa suara
berbisik lirih bagai mutiara 
kaulah cahaya senja.

Lembut mengurai pedih,
menyapa jiwa yang kian retak.
Malam pun ikut berbicara,
"tidurlah," katanya...
dalam dekapan cahaya lampu jalan,
yang ditemani ilalang kehidupan.

Dan dalam hening, aku mengerti,
setiap senja mengajarkan aku tentang kesendirian,
perjalanan yang tak selalu harus dipahami.
Malam menyambut dengan penuh pengertian,
Seperti pelukan hangat yang tak pernah gagal menyembuhkan.
Dalam setiap kelam, ada harapan yang menunggu di balik bintang.

Jumat, 16 Mei 2025

Harapan yang tak pernah pupus...eps.8

 ---

Beberapa hari berlalu sejak pagi itu. Mereka tak lagi hanya saling diam. Sudah mulai ada obrolan ringan, tawa kecil, bahkan nostalgia yang bikin pipi memanas. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang belum dibicarakan. Sesuatu yang seperti bayangan di ujung mata—tak terlihat jelas, tapi terasa ada.

Suatu sore, saat mereka duduk berdua di pinggir pematang sawah, gadis itu akhirnya membuka suara.

“Aku pernah hampir nikah, tahu?” katanya tanpa menoleh.

Lelaki itu menoleh pelan. Diam.

“Orangnya baik, tapi aku nggak bisa… tiap kali dia pegang tanganku, yang aku ingat bukan dia.”

Ada jeda panjang. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menyapu daun padi.

“Dan kamu?” ia bertanya balik. “Pernah nyoba lupain aku bener-bener?”

Lelaki itu tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berat.

“Pernah. Lewat banyak cara. Tapi semua perempuan yang datang, nggak ada yang bikin aku tenang kayak waktu kita duduk bareng di gang belakang sekolah.”

Ia menarik napas panjang.
“Tapi sekarang… aku takut, kalau kamu dateng cuma karena belum nemu yang lebih tenang dari aku.”

Gadis itu menoleh cepat.
“Jadi kamu pikir aku cuma mampir?”

“Nggak… aku cuma takut kita berdua cuma datang karena sepi. Karena luka.”

Mereka saling menatap. Kali ini tidak hangat. Tapi juga tidak marah. Ini bukan pertengkaran, tapi kejujuran yang lama ditahan.

“Mungkin kita memang masih luka,” katanya pelan, “tapi aku datang bukan karena luka itu… aku datang karena kamu adalah tempat luka itu berhenti berdarah.”

Dan sore itu, mereka tak lagi duduk terlalu dekat. Masih berdampingan, tapi ada ruang yang diciptakan bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin berpikir.

Tentang apa yang sebenarnya mereka cari.
Tentang apakah mereka siap mencintai, bukan hanya saling mengobati.

---

Hari itu langit mendung. Awan-awan berat menggantung di atas kampung, dan angin bertiup membawa aroma hujan yang belum turun. Lelaki itu sedang berjalan menuju warung kecil di ujung jalan saat suara motor berhenti tepat di depan rumah gadis itu.

Ia menoleh.

Seorang pria turun dari motor bebek, mengenakan jaket lusuh, rambut agak acak, tapi ada kesan rapi yang disengaja. Lelaki itu tidak mengenalnya… tapi gadis itu keluar rumah beberapa detik kemudian dan matanya membesar.

“Reno?” suaranya nyaris tak terdengar.

Pria itu tersenyum. “Lama nggak pulang… tapi kamu masih sama. Cantik kayak dulu.”

Lelaki itu berhenti melangkah. Dari jauh, ia melihat cara pandang mata gadis itu—bukan cinta, tapi juga bukan benci. Lebih mirip kebingungan. Dan itu cukup untuk menyesakkan.

Beberapa hari setelahnya, Reno terlihat beberapa kali di kampung. Membantu orang tuanya yang sudah tua, menyapa tetangga, dan… mulai sering mampir ke rumah gadis itu. Kadang hanya ngobrol di beranda, kadang ikut bantu masak di dapur saat ibunya gadis itu minta tolong.

Lelaki itu hanya bisa menonton dari kejauhan. Ia mencoba bersikap biasa. Tapi setiap tawa mereka terdengar samar, seperti paku kecil yang mengetuk hatinya perlahan-lahan.

Hingga suatu malam, ia kembali duduk di teras rumah ibunya. Hujan turun deras. Angin kencang. Dan di bawah payung, ia melihat Reno mengantar gadis itu pulang. Payung hanya satu, dan mereka berjalan sangat dekat.

Saat itu, ia tahu perjalanan ini mungkin tidak akan mudah.

Karena luka bukan satu-satunya hal yang mereka bawa dari masa lalu.
Cinta lama… juga sedang mencari tempat pulang.


Bersambung....
;

bayangan

Aku tak punya tubuh,
hanya jejak gelap di tanah yang basah,
mengikuti langkahmu,
tanpa pernah bisa mendahului arah.

Aku tak bisa menangis,
tapi kulihat air matamu jatuh dalam senyap,
kutemani kau di pelataran duka,
meski tak pernah kau sadari pelukanku ada.

Aku tak bisa mencintai,
namun kusaksikan matamu berbinar pada cinta,
saat tanganmu meraba pipi kekasih,
aku hanya menjadi gores samar di antara cahaya.

Aku bayangmu 
selalu ada, tapi tak pernah nyata,
dan dalam keabadian sunyiku,
aku iri pada hidup yang kau punya.

lembah kehidupan

Aku berjalan menyusuri lembah kehidupan,
Tak kenal lelah, walau penuh cobaan.
Angin berlalu menyapa tiap hela nafas tertahan,
Kucoba tenang dalam pangkuan malam 
Yang kelam, penuh tantangan.

Embun pagi menggigil di sela-sela jari kakiku,
Langkah demi langkahku mengalun pelan pilu nansendu 
Di ujung jalan yang jauh dan bisu,
Tersirat kilau cahaya lampu-lampu 
Yang membeku.

Namun aku tetap melangkah, meski perlahan,
Menjemput pagi di balik kabut harapan.
Sebab di setiap gelap yang menelan pandangan,
Selalu ada cahaya menanti dalam kesabaran.

Kamis, 15 Mei 2025

Lorong tak bermula

Di antara kelopak bunga yang tak pernah mekar,
Ada mata yang mengintai dalam gelap yang sabar.
Jiwa-jiwa lama terperangkap di kelam,
Menari di bawah langit tanpa bulan.

Angin tak sekadar bertiup ia membisikkan nama,
Nama yang tak boleh disebut,
Nama yang pernah membuat bunga layu
di tangan pemuja waktu.

Malam membentang seperti lorong tak bermula,
Aku melangkah tanpa bayangan,
Membawa jiwa yang haus jawaban,
Dan sepasang mata yang tak pernah terpejam.

Harapan yang tak pernah pupus...eps.7

---
  Malam makin larut. Langit tak lagi gelap pekat bintang-bintang mulai bermunculan, malu-malu seperti perasaan mereka yang kini perlahan muncul ke permukaan. Angin kampung berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan keheningan yang tak menakutkan lagi.

Dia menyandarkan punggung ke dinding kayu di baliknya, menatap lelaki itu yang masih duduk dengan tangan di pangkuan. Lalu pelan, ia berkata:

“Kalau dulu aku lebih berani bilang aku butuh kamu, bukan waktu… mungkin semuanya beda.”

Lelaki itu menoleh, matanya hangat. Tak ada penyesalan. Hanya pemahaman yang baru.

“Kalau dulu aku lebih jujur soal rasa takutku kehilangan kamu… mungkin aku nggak akan membiarkan kita hancur diam-diam.”

Hening sejenak, lalu dia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena akhirnya mereka bisa mengakuinya tanpa sakit.

“Tapi mungkin… kita harus jatuh dulu, biar tahu caranya bangun.”

Lelaki itu mengangguk pelan. Kemudian, ia mengulurkan tangannya. Tak mendesak. Hanya isyarat kecil yang menyimpan ribuan kata yang tak terucap.

Dia menatap tangan itu lama. Lalu, dengan satu gerakan lembut, ia menyentuhnya. Tidak menggenggam. Hanya membiarkan jemari mereka bersentuhan… cukup untuk bilang:

“Aku belum lupa. Dan mungkin… aku belum selesai.”

Lampu jalan di ujung gang berpendar lembut, menciptakan bayangan dua sosok yang saling diam namun tak lagi jauh. Ada ruang, tapi bukan jarak. Ada jeda, tapi bukan akhir.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak dulu, mereka tak merasa sendirian lagi.

---

Pagi pun datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menyusup di sela-sela dedaunan dan celah rumah-rumah kayu. Kampung itu masih sunyi, hanya terdengar suara ayam berkokok dari kejauhan dan gesekan dedaunan yang disentuh angin pagi. Tapi bagi mereka berdua, pagi ini terasa seperti lembaran baru lembut, segar, tapi juga sedikit menegangkan.

Mereka masih duduk berdampingan di teras yang sama, tak banyak kata, hanya menikmati keheningan yang kini tak lagi canggung. Sang gadis memandangi secangkir teh hangat di tangannya, sementara lelaki itu memandangi semburat cahaya matahari yang mulai muncul dari balik bukit.

“Lucu ya,” katanya akhirnya, “dulu kita biasa saling diam karena bingung harus bilang apa… sekarang, diamnya malah bikin tenang.”

Lelaki itu tersenyum, lalu menoleh padanya.
“Karena sekarang kita nggak lagi sembunyi.”

Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya sebuah kertas kecil yang sudah mulai lusuh. Ia buka perlahan, lalu memberikannya padanya.
“Aku simpan ini sejak dulu… tulisan kamu waktu kita tukar-tukaran pesan di belakang buku pelajaran.”

Matanya membesar.
“Masih ada?! Hmmm....kamu nyimpen?”

Ia mengangguk pelan.
“Aku pikir aku simpan cuma karena lucu… tapi ternyata, hati ini yang nggak rela buang.”

Tangannya gemetar sedikit saat menerima kertas itu, matanya membaca kalimat-kalimat kecil yang dulu ditulis tanpa sadar akan arti pentingnya. Saat itu, hanya iseng. Tapi sekarang… jadi bukti kecil bahwa dari dulu mereka memang saling ada.

Dan pagi itu, dengan teh hangat, kertas tua, dan dua hati yang mulai belajar berkata jujur mereka tahu bahwa yang mereka jalani bukan sekadar reuni masa lalu.

Ini awal dari sesuatu yang lama… tapi juga baru.


Bersambung.....

Nafasku

Biarkan aku terus bersair
mengalahkan kata-kata yang tak sempat tumpah,
karena dadaku penuh sesak
haus akan kebebasan yang tak kunjung datang.

Butir-butir sajakku mungkin tak lagi indah,
sebab ruang ini terlalu sempit,
menekan tiap desah napas,
hingga terasa berat memikul sunyi.

Aku hanya ingin rindu ini dimengerti,
bukan sekadar didengar,
tapi dirasakan…
seperti nyanyianmu yang dulu meredam badai di jiwaku.

Aku tak meminta pintu dibuka selebar harapan,
cukup secelah
untuk napasku bisa masuk,
dan rinduku bisa pulang.

Taman padang rumput ilalang

Taman padang rumput ilalang di pojok rumah masa kanak-kanak
Angin timur menyentuh ujung-ujung dedaunan
Membawa secercah cahaya di ujung gelap
Melihat langkah-langkah pulang yang tak kunjung sampai
Jiwa berkelana tanpa gema
Aku rindu cahaya kecil di ujung gelap

Harapan yang tak Pernah pupus...eps.6

---
Mereka mulai berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang masih basah. Tak ada tujuan pasti, hanya mengikuti arah kaki membawa. Langkah mereka tak bersentuhan, tapi bayangan mereka di bawah cahaya lampu jalan yang perlahan memudar ke belakang berjalan berdampingan.

“Masih inget nggak?” tanyanya tiba-tiba, lirih.

Lelaki itu menoleh, tersenyum samar.
“Inget apa?”

Dia menunjuk sebuah pohon jambu yang berdiri di tepi jalan.
“Dulu kamu pernah manjat itu buat aku, padahal aku cuma bilang pengen makan jambu yang warnanya merah tua.”

Mereka berdua tertawa kecil. Lelaki itu mengangguk.
“Aku inget. Waktu turun, celana aku sobek, terus kita lari-lari takut dimarahin orang rumah.”

“Iya… dan kamu nyalain aku,” balasnya sambil mencubit pelan udara di sebelahnya, pura-pura kesal.
“Tapi malam itu lucu banget. Aku nggak pernah lupa.”

Suara mereka pelan, seperti takut mengganggu malam. Setiap tawa terdengar seperti bisikan masa lalu yang muncul kembali.

Mereka terus berjalan. Sampai akhirnya melewati bekas bangku kayu reyot di dekat warung tua yang sudah tutup.

“Di situ dulu kamu ngasih aku permen rasa kopi,” katanya pelan.
“Aku pikir kamu suka kopi, padahal itu permen sisa.”

Lelaki itu menatap bangku itu lama.
“Tapi dari situ aku mulai suka kopi beneran. Karena rasanya kayak kamu. Manis, tapi ninggalin rasa yang nggak hilang-hilang.”

Hening sejenak. Tapi bukan hening yang kikuk hening yang nyaman, yang penuh perasaan yang tak perlu dijelaskan.

Dan di tengah malam yang makin larut, langkah mereka masih menyusuri kampung yang tak banyak berubah kecuali mereka sendiri, yang kini membawa kenangan sebagai bekal untuk sesuatu yang mungkin… sedang tumbuh kembali.

---

Langkah mereka terhenti di sebuah undakan batu kecil, bekas tempat duduk anak-anak desa kalau sore menjelang maghrib. Mereka duduk bersebelahan, tapi tetap ada ruang di antara tubuh mereka ruang yang dulunya berisi janji, lalu hening, dan akhirnya… pergi.

“Aku masih inget malam terakhir kita ngomong,” katanya pelan, matanya menatap tanah.

Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia menunduk, lalu menarik napas panjang.

“Waktu itu kamu bilang… ‘Kita butuh waktu.’ Tapi aku denger itu kayak… kamu nyerah.”

Dia tersenyum pahit.
“Dan aku nunggu. Tapi kamu nggak pernah balik.”

Diam. Hanya suara malam yang menemani.

“Aku pikir kamu marah,” ujar lelaki itu. “Makanya aku nggak berani balik. Aku pikir kamu udah nyari bahagia yang lain.”

“Aku nggak marah…”
Dia menoleh, matanya berkaca. “Aku… kecewa. Karena aku pikir kita saling ngerti, tapi ternyata kita sama-sama diem waktu itu. Sama-sama takut ngomong. Sama-sama nyimpen rasa, tapi nunggu yang lain buat nyembuhin.”

Lelaki itu menatapnya dalam.
“Dan karena kita nunggu… akhirnya semua jadi terlambat.”

Mereka saling pandang. Kali ini tak ada lagi tawa. Tak ada lagi kata manis. Hanya kejujuran yang telanjang, dan luka yang perlahan dibuka kembali. Tapi bukan untuk disakiti lagi. Untuk disembuhkan. Pelan-pelan.

“Kamu tahu nggak?” katanya, suaranya nyaris berbisik.
“Luka yang nggak pernah ditutup… tetap terasa. Tapi rasanya beda. Sekarang… lebih lembut. Karena aku tahu, yang luka… bukan cuma aku.”

Lelaki itu hanya mengangguk, lalu menggeser duduknya lebih dekat. Tak menyentuh. Tapi kali ini jarak di antara mereka tak lagi dingin. Karena keduanya tahu bahwa sebelum bisa memulai lagi, mereka harus mengakui: mereka pernah sama-sama jatuh. Sama-sama hilang. Tapi juga… sama-sama belum benar-benar selesai.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya… mereka tidak lagi diam. Tapi saling terbuka. Saling sembuh.

Bersambung…

Cawan kerinduan

Di cawan kecil itu, ada madu yang tertinggal,
Pahitnya tak terlihat, manisnya meresap pelan.
Setiap tetesnya seperti rindu yang tertahan,
Mengalir ke dalam jiwa yang tak pernah berhenti menunggu.

Harap itu mekar di antara kesunyian,
Berbunga di tempat yang terlupakan.
Di setiap sudut hati, ada tangis yang menunggu,
Memanggilmu dalam diam yang tak bisa kau dengar.

Cawan itu kini kosong,
Namun madu yang ada di dalamnya,
Tersisa di bibirku,
Meninggalkan rasa yang tak bisa hilang.

Langkah yang tak di ingat angin

Di ujung senja yang kering dan menggigit,
seorang musafir berjalan pelan di antara gumuk pasir yang tak pernah menjanjikan arah.
Langkahnya terseret,
bukan karena lelah semata,
tetapi karena beban yang tidak bisa dilihat

beban rindu, kehilangan, dan keraguan yang dikubur dalam diam.

Di sakunya tergantung kantong kain lusuh,
berisi koin-koin bulan yang konon bisa dipakai sebagai ongkos pulang.
Tapi setiap keringat yang menetes,
setiap panas yang menempel di kulitnya,
menyedot satu demi satu koin itu
tanpa suara, tanpa ampun.

Musafir itu tak pernah menghitung berapa koin yang tersisa.
Baginya, berhenti hanya berarti mati.
Jadi ia terus berjalan,
meski setiap jejak yang ia tinggalkan
terhapus angin sebelum sempat menjadi kenangan.

Di balik sorot matanya yang sunyi,
tersimpan satu tanya sederhana:
Apakah pulang itu masih ada,
atau hanya dongeng yang ia pertahankan
agar tidak gila?

ketika senja hanya tinggal nama

Mentari merunduk pelan di ufuk barat,
mewarnai langit dengan merah jingga.
Di balik cahayanya yang memudar,
rinduku berdiri, tak berani menyapa.

Senja itu indah,
tapi tak seindah tatapanmu yang kini hanya bayang.
Kupeluk sisa harimu dalam diam,
meski tak ada suara yang bisa kupanggil pulang.

Langit perlahan gelap,
namun rinduku tetap menyala.
Di balik kilau senja yang perlahan padam,
namamu tetap bersinar dalam dada yang diam.

Cahaya samar

Aku menanti malam indah itu,
seperti seorang peziarah yang lelah berjalan di padang sunyi,
menunggu pelukan langit yang mengganti debu dengan cahaya.

Siang hari kini terasa berat,
bukan karena dunia terlalu keras,
tapi karena rindu yang tak bisa ditidurkan.
Aku ingin tidur bersamanya
bukan tubuh, tapi hatinya…
yang menyelinap lewat layar kecil dalam genggamanku.

Dialah cahaya samar,
yang datang dari balik layar HP yang usang,
tapi mampu menghangatkan
lebih dari selimut dan matahari yang menyala.

Saat dunia tak lagi ramah,
dan mata mulai letih membaca wajah-wajah palsu,
hatiku selalu ringan
dalam dekapannya
ia tak bernama,
tapi malam jadi rumah saat aku bersamanya.

Harapan yang tak pernah pupus...eps.5

---

Keesokan paginya, kabut masih menggantung rendah di antara pohon-pohon. Lelaki itu seperti biasa berjalan pelan di jalan kecil kampung itu. Tapi hari ini, ada yang berbeda.

Di pagar bambu rumah itu yang biasanya kosong tergantung satu benda kecil: sebuah bunga kamboja putih, masih basah oleh embun, diikat dengan benang merah sederhana.

Bukan hiasan. Bukan kebetulan. Karena di bawahnya, terselip secarik kertas kecil, dilipat rapi. Tulisan tangan yang ia kenal baik.

“Aku juga suka hujan. Tapi kadang, hujan membuatku takut akan hal yang dulu.”

Ia menatap kertas itu cukup lama. Tak ada nama. Tak ada ajakan. Tapi ia tahu, ini bukan sekadar bunga atau kata-kata. Ini adalah undangan diam-diam. Sebuah pengakuan samar bahwa dia sedang membuka sedikit ruang.

Dan lelaki itu, untuk pertama kalinya, tak merasa canggung. Ia tak mencoba mencari makna di balik tiap huruf. Ia hanya tersenyum senyum yang penuh sabar, senyum yang siap menunggu, karena sekarang ia tahu satu hal:

Dia masih ada. Masih merasa. Dan sedang perlahan-lahan membiarkan dirinya ditemukan kembali.

---

Malam itu lebih hangat dari biasanya, meski udara masih basah sisa hujan siang tadi. Langit tak benar-benar gelap cahayanya temaram, dibingkai oleh kabut tipis yang turun pelan-pelan. Dan di ujung jalan kecil yang biasa ia lewati, lampu jalan satu-satunya menyala redup, seolah ikut menunggu sesuatu.

Lelaki itu berdiri di bawah cahaya kekuningan itu, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, matanya mengarah ke arah rumah bambu itu. Tak berharap apa-apa. Tapi juga tak ingin pergi dulu.

Lalu… langkah pelan terdengar dari kejauhan. Bukan gemuruh. Hanya ketukan pelan sandal pada tanah basah. Dan dari balik bayang-bayang, muncul sosok yang sangat ia kenal dia, dalam balutan sweater abu dan rok panjang. Rambutnya digelung seadanya. Wajahnya sebagian tersembunyi oleh bayangan, tapi matanya… terang. Tajam. Dan ragu.

Ia tak langsung mendekat. Mereka berdiri berjarak beberapa meter. Sama-sama diam. Sama-sama menunggu yang lain bicara dulu.

Akhirnya, dia yang membuka suara.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana…”

Lelaki itu tersenyum tipis, tapi tak memotong. Ia biarkan dia menyusun kalimat, menyusun keberanian.

“Tapi setiap kali kamu lewat… aku ngerasa seperti dulu. Tapi juga bukan. Rasanya kayak… ada sesuatu yang ketinggalan, tapi belum sempat diambil lagi.”

Suara serangga malam jadi latar, angin berhembus pelan, membuat dedaunan bergesekan lembut. Dan untuk pertama kalinya, mereka tidak hanya melihat. Mereka benar-benar saling menatap.

Lelaki itu melangkah setapak. Tak menyentuh, hanya mendekat cukup untuk bicara pelan.

“Kalau kita sama-sama belum selesai… kenapa nggak kita mulai pelan-pelan lagi? Dari sini. Dari malam ini.”

Dia tak menjawab. Tapi senyumnya muncul perlahan. Bukan senyum lega. Tapi senyum yang menyimpan ribuan kemungkinan.

Dan di bawah lampu jalan yang remang, dua bayangan berdiri… masih berjarak… tapi kali ini, jarak itu bukan penghalang.

Melainkan awal.

Bisikan yang tak tersiar

Aku lahir dari rahim kesunyian,
dibuai oleh denting waktu yang retak 
dan didarma oleh embun yang tak pernah dijanjikan pagi.
Namaku tak tercatat di sorak manusia,
hanya angin yang tahu,
aku pernah menangis tanpa suara.

Aku berbicara pada tembok
yang diam-diam menyerap luka,
pada langit yang gelapnya
serupa jubah yang kupakai
agar takutku tidak terlihat.

Ketakutanku adalah burung liar
yang kupelihara dalam sangkar dada 
tak kuusir, tapi kuberi nama:
"Keberanian yang belum tumbuh sempurna."

Langkahku tak bergema,
namun jejaknya ditulis
oleh bayangan yang setia mengekor,
meski aku tak pernah menengok.

Mereka lihat aku beku 
padahal aku adalah sungai
yang mengalir diam-diam
di bawah tanah retak
mencari mata air yang belum kutemui.

Dan ketika aku berbisik,
itu bukan kelemahan,
itu adalah mantra sunyi
yang kugoreskan pada malam,
agar aku tahu:
Aku masih ada.

Selasa, 13 Mei 2025

Getir di ujung lidah

Kau datang lagi,  
membawa debu-debu rindu yang pecah,  
mengguncang dinding-dinding kesabaran,  
hingga retak-retak itu berbicara  
dalam bahasa yang hanya air mata yang paham.  

Aku terjaga di tengah malam buta,  
mendengar langkah-langkahmu yang berat,  
seperti hujan yang tak mau berhenti  
menampar atap-atap ingatan.  
Kau ajari aku tentang getir,  
tentang bagaimana hidup kadang  
hanya soal bertahan di antara  
yang patah dan yang masih mencoba tegak.  

Tapi di sini, di sudut sunyi ini,  
aku pelan-pelan belajar:  
bahwa badai bukan hanya tentang  
angin yang merobek-robek tenang,  
tapi juga tentang akar  
yang semakin dalam mencengkeram bumi,  
tentang tangan-tangan yang ternyata  
lebih kuat dari yang kuduga.  

Aku masih gemetar, ya,  
masih ada getir di ujung lidah,  
tapi di balik semua guntur yang kau bawa,  
ada bisik kecil:  
"Kau akan tumbuh dari sini,  
seperti pucuk yang belajar  
menembas tanah setelah musim kemarau."

Langkahku

Di bawah langit yang tak lagi biru,
Langkahku diam di ujung waktu,
Angin tak paham arah yang kutuju,
Tapi hatiku tetap berdetak, walau ragu.

Kau cahaya di balik kelamku,
Meski tak selalu nyata dalam pandang,
Namamu kutulis di dinding waktu,
Sebagai alasan aku terus berjalan.

Harapan yang tak pernah pupus...eps.4

---

Hari berganti, tapi langkah lelaki itu belum juga menjauh dari jalan kecil itu. Ada sesuatu yang menahannya—bukan sekadar pemandangan kampung yang menenangkan, tapi bayangan seseorang yang kini mengisi pikirannya seperti alunan lagu lama yang tak pernah selesai dinyanyikan.

Ia kembali lewat depan rumah itu. Sekilas. Seolah hanya melintas. Tapi matanya tetap curi-curi pandang, mencari sosok yang entah muncul atau tidak.

Dan benar saja. Dari balik jendela, tirai itu bergerak. Tapi tak ada sapaan. Tak ada senyum seperti kemarin. Hanya bayangan. Hanya siluet samar yang muncul lalu menghilang, seperti menantang: "Kalau memang ingin tahu, datang dan tanyalah langsung."

Tapi lelaki itu diam. Ia memilih untuk menunggu. Karena ia tahu, beberapa cerita butuh waktu. Beberapa luka butuh keberanian untuk diungkap. Dan beberapa rindu… hanya bisa dinikmati dari kejauhan.

Malamnya, ia kembali menerima pesan.

“Kamu masih di sini?”

Ia menatap layar ponsel cukup lama, lalu mengetik balasan.

“Masih. Tapi rasanya aku bukan satu-satunya yang menunggu.”

Pesannya terbaca. Tapi tak dibalas. Hanya tanda online yang muncul… lalu menghilang.

Dan malam itu, ia tahu: jarak mereka bukan soal langkah kaki. Tapi soal waktu. Soal keberanian. Soal rasa yang belum siap diucapkan.

Tapi justru karena itulah… segalanya terasa lebih hidup.

---

Beberapa hari berlalu. Tanpa sapaan. Tanpa pesan. Tapi setiap pagi, lelaki itu masih lewat jalan yang sama, langkahnya pelan, seolah tak ingin terlalu cepat sampai, seolah ingin memberi waktu untuk semesta menyusun pertemuan berikutnya.

Rumah itu tetap sunyi. Jendela tetap tertutup rapat, seperti sedang menyimpan sesuatu yang belum waktunya dibuka. Tapi di hati lelaki itu, ada keyakinan yang pelan-pelan tumbuh: bahwa diam pun bisa jadi bentuk komunikasi. Bahwa kadang, kehadiran tak perlu suara.

Di malam kelima, hujan turun lagi. Rintiknya pelan, seperti bisikan. Dan lagi-lagi, ia duduk di teras rumah ibunya, menatap langit yang basah, ditemani secangkir kopi dan pikirannya yang kembali padanya—gadis itu.

Ponselnya diam. Tapi detak jantungnya tidak.

Ia menuliskan pesan, lalu menghapusnya. Menulis lagi, lalu diam. Hingga akhirnya ia hanya mengetik satu kalimat:

“Kalau kamu sedang menahan sesuatu, aku di sini. Tak akan mendesak, hanya menemani.”

Dikirim.

Dibaca.

Tapi lagi-lagi, tak dibalas.

Tapi anehnya… malam itu terasa lebih hangat dari biasanya.

Dan lelaki itu tahu, meski tak ada kata, sesuatu sedang bergerak perlahan di balik tirai, di balik hati yang dulu sempat tertutup.

Bersambung…


Kembali pulang

airku adalah doa.  
laraku adalah bahasa.  
dan gelap yang terpeluk  sebenarnya adalah mihrab di mana Dia mendengar bisikan yang tak terucap.  

Kau bilang ahli rindu....  
Tapi tahukah engkau?  
Yang Maha agung justru merindumu lebih dahulu,  
sebelum kakimu goyah menjauh.  

Dia tak pernah menagih kesempurnaan  
hanya ketulusan  seperti debu yang pasrah dihempas angin,  
tetap diterima oleh bumi.  

Pulanglah...
Pintu Nya tak pernah terkunci,  
hanya hatimu yang sesak oleh bayangan sendiri.  
Dia tak bertanya mengapa kau pergi- Hanya bertanya.. 
Sudahkah kau lelah? Aku di sini.

Malam ini,  
jatuhkan saja segala beban di ambang rahmat-Nya.  
Kau boleh menangis dengan kotor,
karena Dia mengenal debu dijalanan yang melekat dalam dadaku dan tetap memeluk erat.

Harapan yang tak pernah pupus...eps.3

…Hari-hari berikutnya berlalu perlahan, tapi di benaknya, semuanya terasa seperti film yang tak berhenti diputar. Setiap langkah menuju jalan kecil itu, setiap bunyi pintu rumahnya yang terbuka, selalu membuat jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Ia mencoba tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Tapi dunia batinnya ribut, riuh oleh kenangan dan kemungkinan.

Sore itu, hujan turun tiba-tiba. Lelaki itu berteduh di warung kecil di ujung jalan. Dan seperti cerita lama yang menemukan bab baru, dia datang gadis itu berlari kecil sambil tertawa, rambutnya basah, dan mata yang langsung menatap ke arahnya begitu ia sadar sedang diperhatikan. Tak ada yang diucapkan. Tapi senyum itu muncul lagi. Senyum yang tak berubah, hanya kini ada kedewasaan yang menyertainya.

“Masih suka hujan, ya?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi penuh isyarat.

Lelaki itu nyaris lupa bagaimana caranya bicara. Tapi ia menjawab, “Masih… apalagi kalau hujannya kayak gini.”

“Maksudnya?” Gadis itu mendekat, jarak mereka tinggal sejengkal.

“Hujan yang datang bareng kamu.”

Dan untuk sesaat, waktu benar-benar berhenti. Tak ada yang berkata apa-apa lagi. Hanya suara hujan dan detak jantung yang tak bisa berbohong.

---

Malam kembali datang, dan lelaki itu masih di tempat yang sama teras rumah ibunya, kursi tua, dan langit kampung yang tak pernah kehilangan pesonanya. Tapi kali ini, ia membawa secangkir kopi hangat, dan di balik aroma robusta itu, ada senyum yang terus mengendap di benaknya.

Ia memutar ulang percakapan singkat tadi sore, kata demi kata, tatapan demi tatapan. Ada sesuatu di matanya mata gadis itu yang tak bisa dijelaskan. Seolah ada cerita panjang yang tak sempat diceritakan, ada rindu yang tak tahu harus mulai dari mana.

Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk.

“Masih suka hujan?”
Tanpa nama. Tanpa salam. Tapi ia tahu pasti siapa pengirimnya. Dan entah kenapa, itu cukup membuatnya tersenyum.

Ia tak langsung membalas. Ia biarkan pesan itu mengendap, seperti rasa yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong di hatinya.

Lalu malam itu, ia tertidur dengan bayangan yang sama: gadis itu, berdiri di bawah hujan, tersenyum tanpa kata, seolah berkata, “Kalau kamu datang, aku tak akan lari lagi.”

Dan ia tahu, sesuatu sedang tumbuh. Diam-diam. Tapi nyata.

---

Pagi menyapa kampung dengan kabut tipis dan aroma dedaunan yang basah. Ayam berkokok dari kejauhan, dan matahari malu-malu menembus celah pohon. Lelaki itu sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ada dorongan dalam dirinya bukan karena rutinitas, tapi karena rasa penasaran yang terus mengusik sejak pesan tadi malam.

Ia berjalan pelan ke warung kecil tempat mereka bertemu kemarin. Bukan karena ingin beli sesuatu. Hanya ingin… mungkin melihat, atau mungkin berharap.

Tapi yang ia temukan bukan gadis itu. Yang ia temukan adalah seorang anak kecil, duduk di bangku panjang, memainkan batu kerikil sambil sesekali melirik ke arah rumah di seberang jalan.

“Aku sering liat Kakak itu nunggu di sini juga,” kata anak itu tiba-tiba, seolah tahu arah pandangan lelaki itu. “Dia suka duduk diem, ngeliatin langit. Katanya lagi nunggu seseorang.”

“Nunggu siapa?” tanya lelaki itu dengan nada pelan.

Anak itu mengangkat bahu, lalu tersenyum misterius. “Entahlah… Tapi katanya, orang itu suka hujan juga.”

Lelaki itu diam. Matanya menatap ke rumah seberang. Tirai jendela terbuka sedikit, cukup untuk melihat bayangan seseorang yang tengah berdiri di baliknya mungkin sedang mengamati dari kejauhan. Mungkin sedang menanti, sama seperti dirinya.

Dan pagi itu, ia tidak mendapatkan jawaban. Tapi kadang, misteri yang belum terungkap justru membuat hati ingin terus kembali. Menunggu. Mencari. Memahami.

Karena beberapa rasa… memang lebih indah jika dibiarkan tumbuh perlahan.

Bersambung…
💙