Jumat, 06 Juni 2025

AMARAH JIWA YANG KOSONG

Hari-hari ketika manusia berjalan tanpa peta.
Mereka melangkah, tapi tak tahu menuju ke mana.
Mereka tersenyum, tapi tak tahu untuk siapa.
Mereka bekerja, mencintai, bertahan...
tapi di balik semua itu, ada ruang kosong yang menganga dalam dada.

Di tengah hiruk pikuk dunia, suara hati mereka makin samar,
seperti bisikan angin di tengah badai.
Mereka dulu punya mimpi,
dulu punya nyala yang membakar mata,
tapi perlahan, mimpi itu dikebiri oleh rutinitas,
oleh keharusan yang dipaksa dunia,
oleh ketakutan akan kekurangan.

Mereka lupa kenapa dulu berlari,
lupa kenapa dulu bersumpah pada diri sendiri.
Yang tersisa hanya tubuh yang berjalan otomatis,
dan hati yang kadang berteriak lirih dalam sepi.

Tapi, sesekali...
di antara gerimis malam atau sepotong senyum asing,
mereka mendadak teringat:
bahwa hidup bukan sekadar bergerak.
Bahwa ada alasan kenapa mereka pernah memulai.
Dan dalam sekejap, langkah kecil itu terasa berarti kembali,
walau dunia tetap bising,
walau hati tetap retak.

Mereka adalah kita.
Yang berjalan, jatuh, lupa...
lalu belajar untuk ingat lagi.


Mereka yang berjalan dengan mata kosong,
menyusuri lorong-lorong hidup tanpa arah,
menggenggam mimpi yang telah membusuk di telapak tangan.

Mereka tertawa di atas reruntuhan harapan,
berpesta di antara bangkai janji-janji lama,
menyeka air mata dengan tangan yang dipenuhi debu penyesalan.

Mereka pernah punya tujuan,
pernah bersumpah di bawah bintang,
pernah berteriak menantang langit.
Tapi kini, langit itu bisu,
dan mereka lupa bahkan pada suara mereka sendiri.

Mereka berlari bukan untuk sampai,
tapi karena takut diam berarti mati.
Mereka mencintai bukan untuk hidup,
tapi karena takut sendirian di dalam kubur sunyi bernama waktu.

Setiap malam,
mereka berbicara pada bayang-bayang sendiri,
bertanya tanpa berharap jawaban.

"Mengapa aku berjalan?"
"Untuk siapa aku bertahan?"
"Apakah masih ada tujuan, atau hanya sisa nafas yang belum mau padam?"

Dalam dunia di mana cahaya hanya janji yang dikubur terlalu dalam,
mereka terus melangkah,
mengukir jejak di tanah yang bahkan tidak mengingat nama mereka.


Namun dalam lubang terdalam dada mereka,
masih ada bara kecil yang membangkang.
Sekarat, mengerang, tapi tak mau padam.

Bara itu menggeliat,
menyakitkan,
seperti belati yang diputar perlahan dalam dada,
mengingatkan bahwa mereka dulu bukan hanya tubuh berjalan,
bukan hanya boneka tua yang dikendalikan jam.

Suatu malam, ketika dunia terlelap dalam pelukan palsu,
salah satu dari mereka terbangun,
menatap langit hitam yang tak lagi berjanji apa-apa,
dan berbisik dengan suara parau:

"Aku bukan milik dunia ini."
"Aku bukan mesin yang dibangun untuk lupa."

Lalu dengan langkah gemetar,
mereka mulai mencari:
bukan mencari jalan pulang,
bukan mencari kemenangan,
tetapi mencari dirinya sendiri
yang pernah terkubur hidup-hidup di bawah puing waktu.

---

Setiap tetes darah, setiap luka,
adalah bukti bahwa jiwa ini pernah melawan,
dan mungkin,
masih cukup hidup untuk bertanya lagi:

"Apa arti berjalan?"
"Apa arti bertahan?"

             "Di mana cahaya tak lagi dijanjikan,
di situlah langkahku jadi tanpa arti.
Aku lupa 
bukan karena tak peduli,
tapi karena dunia terlalu bising
untuk mendengar suara hatiku sendiri",

             "Ada bara yang menggerutu dalam dada,
menolak mati meski dunia memaksanya.
Ia tak nyala, tak padam,
hanya menunggu aku
untuk percaya bahwa aku masih bisa terbakar",

              "Bukan kemenangan yang kucari,
melainkan arti dari luka yang tak pernah sembuh.
Jika hidup hanyalah jalan tanpa ujung,
biarlah aku jadi jejak
yang tak pernah dilupakan tanah".

Label:

💚