Hari itu sekolah sedikit lebih cerah dari biasanya. Ia tak menyangka pagi tadi, ibunya menyelipkan sebuah amplop cokelat ke dalam tasnya. “Kamu ambil saja daftar study tour itu, Nak,” ucap ibunya sambil memalingkan wajah, seolah tak ingin terlihat goyah.
Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Amplop itu berisi cukup uang untuk biaya pendaftaran yang selama ini hanya jadi mimpi baginya. Tapi pertanyaannya cuma satu: dari mana?
Sepulang sekolah, ia tak langsung masuk ke rumah. Dari sela-sela dinding bambu, ia melihat ayahnya duduk di beranda, menggenggam sebungkus plastik kecil berisi kain batik dan sepasang gelang perak yang sudah dibungkus rapi. Plastik itu kosong.
Ia mengenali kain itu. Pernah sekali, di malam sunyi, ibunya memeluk kain itu sambil bercerita, “Dulu kami menikah hanya dengan itu, Nak. Tak ada emas, tak ada pesta. Hanya doa dan tekad.”
Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan. Tapi dadanya sesak. Ia masuk ke rumah perlahan, lalu duduk tanpa suara di dekat ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.
“Ibu… batik itu ke mana?” tanyanya pelan.
Ibu tak menjawab. Hanya mengaduk sayur lodeh lebih cepat, seakan mencari jawaban di dalam panci. Tapi air matanya jatuh, satu tetes, dua tetes, sambil mengaduk kuah yang hangat.
Ia memeluk ibunya dari belakang. Tak bicara, hanya membiarkan air matanya sendiri jatuh membasahi punggung perempuan yang telah mengajarinya segalanya termasuk mencintai tanpa syarat.
“Ibu… Ayah… aku nggak perlu ikut tour itu. Uang ini aku simpan. Nanti… aku bisa buat Ibu dan Ayah naik bus ke kota, bukan aku yang pergi duluan.”
Ayah mendekat. Tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan tangan di pundaknya. Di rumah yang penuh keterbatasan itu, cinta mereka mengalir dalam bentuk yang tak bisa dibeli.
Malam itu mereka makan bersama dalam diam. Tapi entah kenapa, semua terasa lebih hangat dari sebelumnya. Seperti ada pelita kecil yang menyala di dalam dada masing-masing tentang harapan, pengorbanan, dan cinta yang tak pernah meminta balasan.
--'
Beberapa hari setelah peristiwa itu, kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Ayah tetap ke sawah membawa cangkul tuanya, ibu kembali menanak nasi di dapur kayu yang dindingnya mulai lapuk, dan anak itu kembali berangkat sekolah dengan langkah ringan tapi hati yang penuh gejolak.
Di sekolah, ada yang berbeda hari itu. Seorang pria paruh baya berdiri di depan kelas bersama kepala sekolah. Bajunya sederhana, tapi sorot matanya tajam menandakan bahwa ia bukan sembarang orang.
"Anak-anak," ucap kepala sekolah, "ini Pak Yuda. Beliau sedang menjalankan program dari yayasan pendidikan yang mencari siswa-siswa dengan semangat tinggi dari desa kita."
Mata si anak terpaku. Ia tidak merasa dirinya istimewa. Tapi ketika mata Pak Yuda menangkap sorot matanya, seolah ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—seperti seseorang yang sedang mengenali dirinya dalam versi muda.
Pak Yuda meminta semua anak menuliskan cerita tentang "seseorang yang paling mereka kagumi dan apa pengorbanan terbesar yang pernah mereka saksikan."
Anak itu pulang dengan langkah lambat. Malam itu, di meja kayu reyotnya, ia menulis dengan pensil yang sudah pendek tulisan tangannya gemetar, tapi isinya jujur.
Ia menulis tentang ibu. Tentang dapur kayu yang beraroma asap. Tentang tangan kasar yang tetap lembut saat menyentuh pipinya. Tentang ayah yang diam tapi hadir, yang senyumnya lebih dalam dari kata-kata.
Seminggu kemudian, kepala sekolah memanggilnya. Di ruang kecil yang biasa dipakai rapat guru, Pak Yuda berdiri sambil memegang lembaran tulisannya. Matanya basah. "Nak... kamu menulis dengan hati. Kami ingin bantu kamu. Sekolah berasrama di kota sedang membuka satu beasiswa penuh. Aku yakin... kamu bisa sampai ke sana."
Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi di dalam hatinya, sebuah cahaya kecil menyala lebih terang dari sebelumnya.
Dan di balik jendela kelas itu, langit masih biru seperti biasa. Tapi harinya… tak lagi sama.
---
Malam itu angin berembus pelan. Rembulan menggantung di atas atap rumah kayu mereka. Di dapur yang remang, ibu masih menyiapkan air hangat. Ayah duduk di bangku bambu yang mulai rapuh, menatap ke arah luar rumah gelap yang dulu pernah penuh cahaya.
"Masih ingat nggak, Yah… warung kita dulu?" suara ibu pelan, nyaris seperti bisikan.
Ayah mengangguk. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, meski matanya tak lepas dari hamparan sawah yang kini sunyi.
“Ingat. Dulu anak-anak suka nongkrong di situ, minta gorengan sambil nyolong lihat-lihat kamu…,” goda ayah setengah tertawa.
Ibu tertawa pelan. "Iya… dan kamu datang tiap sore, pura-pura beli kopi tapi sebenarnya nungguin aku sendirian."
Mereka terdiam sejenak. Suara jangkrik jadi musik latar. Ibu menarik napas panjang. “Warung itu dulu penuh tawa. Kadang capek, kadang sepi… tapi tetap hidup. Kita punya harapan.”
Ayah menatap dapur itu. Tempat ibu sekarang berdiri, memotong sayur di atas talenan kecil yang retak. "Sekarang… semuanya jauh lebih sunyi. Anak kita... hidupnya jauh dari apa yang dulu kita bayangkan."
Ibu mengangguk. “Aku dulu ingin dia sekolah tinggi, nggak usah ngerasain dinginnya tanah sawah. Tapi lihatlah... dia justru lebih kuat dari kita waktu muda.”
Air mata mengalir pelan di pipi ibu, tapi ia segera menghapusnya. “Kita mungkin gagal mewujudkan impian kita sendiri, tapi dia… mungkin dia bisa jadi satu-satunya harapan kita yang berhasil terbang.”
Ayah menggenggam tangan istrinya. “Biar kita di sini. Biar rumah ini tetap berdiri… kalau suatu saat dia pulang, ada tempat yang masih mengingat dia kecil.”
Malam itu mereka duduk berdampingan, mengenang masa muda mereka di warung kecil yang kini hanya tinggal kenangan. Di dada mereka, harapan untuk si anak tumbuh bersama rasa rindu yang tak pernah padam.
Bersambung...