Sabtu, 24 Mei 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.2

Malam itu hujan turun perlahan. Atap seng rumah mereka mengetuk lembut seperti irama doa. Di sudut ruangan yang hanya diterangi lampu minyak, ia duduk termenung. Tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian di sawah, tapi bukan itu yang membuatnya diam begitu lama.

Ia baru saja pulang dari sekolah, dan hari itu bukan hari yang mudah. Teman-teman sekelasnya sedang sibuk membahas rencana study tour ke kota. Semua terlihat antusias, saling bertukar cerita tentang baju apa yang akan dipakai, dan bekal apa yang akan dibawa.

Ia hanya tersenyum kecil dari jauh. Tak banyak bicara. Ia tahu, uang untuk ikut study tour itu setara dengan satu bulan beras di rumah. Bahkan mungkin lebih. Jadi, ia hanya diam. Lagi-lagi memilih menelan rasa ingin, sendirian.

Salah satu temannya sempat bertanya, "Kamu ikut, kan?"

Ia menjawab singkat, “Nggak bisa.”

Tak ada yang tahu bahwa sepulang sekolah, di jalan setapak menuju rumah, air matanya jatuh satu per satu. Tak ada yang melihat, dan ia pun tak mengusapnya. Biarlah hujan menyamarkannya.

Sampai di rumah, ia tetap tersenyum di depan ibu dan ayahnya. "Belajar tadi asik," katanya, berusaha menyembunyikan guncangan di dada. Ia tahu, orang tuanya sudah cukup letih dengan beban mereka sendiri. Tak perlu ditambah lagi dengan kesedihan miliknya.

Malam itu, saat semua sudah terlelap, ia menghadap langit-langit kamar dan berbisik lirih, “Kalau memang belum waktunya aku bahagia, tak apa. Asal nanti... aku bisa buat mereka bahagia lebih dulu.”

Di balik tubuh yang terlihat kuat, ia adalah remaja yang juga butuh dipeluk. Tapi malam dan sepi menjadi satu-satunya teman yang tahu betapa keras ia berjuang, bukan hanya di dunia luar, tapi juga di dalam dirinya 

---

Ibu duduk diam di depan tungku. Asap dari kayu bakar perlahan memenuhi dapur kecil yang temaram. Di tangannya, ada sebuah kotak kayu tua tertutup debu, tapi penuh makna. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya ada sepasang gelang perak dan kain batik halus yang dulu pernah mereka pakai saat menikah.

Dari ruang depan, ayah hanya melihat dengan pandangan kosong. "Kamu yakin...?" tanyanya pelan, suaranya serak menahan emosi.

Ibu tak langsung menjawab. Jari-jarinya menyentuh lembut kain batik itu, seolah ingin menyimpan hangatnya untuk terakhir kali. Lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, "Kita bisa buat kenangan baru... tapi masa depan anak kita, mungkin hanya bisa kita bantu sekali ini."

Ayah memejamkan mata. Hatinya hancur, tapi ia tahu, ia dan istrinya telah memutuskan satu hal besar: menjual benda berharga satu-satunya yang mereka simpan sejak dulu. Itu bukan sekadar benda. Itu saksi cinta mereka saat tak punya apa-apa selain harapan. Tapi sekarang, cinta itu harus diwujudkan bukan lewat benda, melainkan pengorbanan.

Mereka tahu anak mereka diam-diam menahan luka. Mereka tahu ia ingin ikut study tour, ingin merasakan sedikit dari kehidupan remaja yang normal. Tapi mereka juga tahu anak itu terlalu kuat, terlalu sabar, sampai tak pernah meminta apa-apa.

Besok pagi, ayah akan membawa gelang perak itu ke kota. Dan kain batik akan ditukar pada seseorang disana yang mau membayar dengan uang tunai.

Malam itu, di kamar kecilnya, remaja itu kembali menatap langit. Ia tidak tahu, bahwa di balik dinding rumah, kedua orang tuanya sedang menggenggam kenangan mereka erat-erat untuk dilepas esok hari, demi buah hati nya.


Bersambung...

Entri yang Diunggulkan

NYALA KECIL DI UJUNG SENJA

Di saat langit mulai lelah Ada cahaya kecil yang tetap menyala, Meski angin mencoba memadamkannya Ia bertahan… seperti harapan di ujung do...

Postingan Populer

💚