---
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika ia berdiri di depan rumah kayu itu. Sebuah tas sederhana menggantung di pundaknya isinya tak banyak, hanya pakaian secukupnya, buku-buku usang, dan sebungkus nasi yang dibungkus daun pisang buatan ibu.
Ibu berdiri di ambang pintu, matanya sembab meski berusaha tersenyum.
“Jangan khawatir soal kami di sini,” kata ayah pelan, “di tanah ini kami sudah terbiasa sendiri. Tapi kamu... kamu harus pergi untuk tahu bagaimana dunia di luar sana.”
Anak itu hanya mengangguk. Tak sanggup berkata-kata. Di dalam dirinya, ada gempuran rasa: senang karena diberi kesempatan, takut meninggalkan yang ia cintai, dan cemas pada dunia yang belum pernah ia lihat.
Sebelum melangkah, ibu memeluknya dari belakang. Pelukan itu seperti pelukan terakhir erat, lembut, penuh makna.
“Nak… jangan lupa dari mana kamu berasal. Dunia bisa besar, bisa membuatmu lupa arah… tapi hati yang kuat akan selalu pulang.”
Mobil putih itu akhirnya tiba. Ia menoleh ke orang tuanya. Ayah mengangguk dengan tatapan yang bicara lebih dari seribu kata. Ibu hanya menggenggam tangannya erat lalu melepaskannya perlahan.
Dan saat mobil mulai bergerak, ia menatap kaca belakang. Rumah kayu itu makin kecil… makin jauh… tapi di hatinya, itu adalah satu-satunya tempat yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.
---
Sejak kepergian anaknya, dapur itu tak lagi sama. Dinding kayu yang dulu penuh tawa kecil kini hanya memantulkan suara angin dan nyanyian kompor tua.
Ibu berdiri di sana seperti biasa mengulek sambal, menanak nasi, memasak sayur kesukaan anaknya yang kini hanya tersaji di meja tanpa tuan. Tangannya bergerak, tapi hatinya tertinggal di pagi itu… pagi terakhir saat sebuah pelukan kecil menyusup dari belakang, hangat, tulus, dan diam-diam membuatnya ingin waktu berhenti.
Kini tak ada lagi suara,
“Bu, aku bantu ya...”
Atau,
“Bu, hari ini kita makan pakai ikan asin, ya?”
Setiap suara langkah di halaman membuatnya menoleh. Siapa tahu… siapa tahu itu dia. Tapi yang datang hanya angin, menyusup membawa harapan yang belum kembali.
Ayah berusaha tegar, meski ia tahu istrinya sering menyeka air mata diam-diam, berpura-pura kelilipan bawang.
Malamnya, di pembaringan, ibu menggenggam kain sarung bekas anaknya. Menciumnya perlahan, seperti ingin menambal rindu yang tak pernah bisa utuh kembali.
“Semoga kau baik-baik saja di sana, Nak... Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang...”
---
Ibu tersentak saat melihat amplop lusuh yang diselipkan oleh tukang pos sore itu. Tulisannya tak rapi, huruf-hurufnya agak gemetar… tapi ia langsung tahu, ini dari anaknya.
Dengan tangan bergetar, ia duduk di kursi bambu depan dapur, membuka perlahan dan membaca dalam hening:
---
Untuk Ibu dan Ayah,
di rumah yang paling aku rindukan...
Ibu, Ayah…
Maaf baru bisa kirim kabar sekarang. Di sini semua terasa asing. Kota ini besar… tapi rasanya dingin, bukan karena angin, tapi karena tak ada suara Ibu memanggil dari dapur, tak ada Ayah yang duduk di kursi depan sambil membetulkan sepeda.
Aku belajar banyak di sini. Tapi sering kali aku lupa makan karena tak ada yang mengingatkan. Aku juga tak pernah lagi merasa senyaman waktu kita makan bareng di lantai rumah pakai tangan, rebutan sambal, dan tertawa.
Kadang aku menangis diam-diam di kasur kecilku. Rasanya seperti ada lubang di hati. Bukan karena sakit… tapi karena rindu.
Ibu,
Aku kangen masakan Ibu… kangen pelukan Ibu waktu aku takut. Dan Ayah… aku tahu Ayah mungkin gak bilang, tapi aku yakin Ayah juga sering lihat ke jalan berharap aku muncul.
Aku di sini baik-baik saja, Bu. Ayah. Tapi aku belum bisa jadi apa-apa. Belum bisa belikan Ibu kompor baru atau sepeda buat Ayah. Tapi aku janji… aku akan terus belajar. Supaya suatu hari, kita bisa duduk lagi bareng di dapur kayu itu, tanpa rasa cemas tentang besok.
Peluk aku dari jauh ya, Bu. Titip salam juga buat ayam kita, dan suara kodok malam yang selalu aku rindukan dan suara aneh", di setiap tengah malam juga.
Anakmu, yang tidak pernah lupa rumah.
---
Air mata ibu jatuh satu per satu ke kertas itu. Dipegangnya erat, dekat ke dadanya, seperti memeluk anaknya lewat tulisan.
Ayah datang, membaca surat itu diam-diam dari balik bahu istrinya… dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia menyeka air mata tanpa rasa malu.
Bersambung...