Senja telah menumpahkan warna kelabu di langit Desa Pangguyangan. Kabut turun perlahan, menyelimuti pepohonan tua yang berdiri bisu di tepian hutan. Di tengah jalan setapak yang becek oleh sisa hujan semalam, seorang gadis berusia tujuh belas tahun berjalan tertatih sambil menggenggam buntalan kain usang.
Namanya bunga. Ia tidak tahu lagi harus ke mana setelah kepergian ayah nya dan ibunya menghilang begitu saja dua pekan lalu tanpa jejak. Kata orang-orang, ibunya dibawa oleh "Bayang Kabut", makhluk yang katanya datang dari celah waktu pengembara jiwa-jiwa tersesat.
Bunga tidak percaya. Tapi setiap malam sejak kepergian ibunya, ia mendengar bisikan di telinganya saat ia hampir tertidur. Suara perempuan… lirih, seolah memanggil namanya dari ujung hutan.
"Bunga… tempatmu bukan di sana… datanglah ke bayang-bayang..."
Dan malam ini, ia mengikutinya. Kabut semakin tebal, angin membawa aroma tanah basah bercampur kenanga. Setiap langkah bunga terasa berat, namun ada sesuatu yang membimbingnya entah keberanian, entah rasa rindu, atau justru sesuatu yang lebih gelap.
Tiba-tiba, di tengah kabut, muncul sebuah rumah kayu tua. Tidak ada yang mengingat rumah itu pernah ada. Pintu terbuka dengan sendirinya saat bunga mendekat.
Di dalam, ia melihat cermin besar berbingkai ukiran kuno. Di balik bayangannya sendiri, ia melihat... ibunya, berdiri diam tanpa senyum, namun matanya basah menatap bunga.
Bunga mendekat. Tapi begitu ia menyentuh cermin itu…
BRUK!
Ia terseret masuk ke dalam bayangan cermin. Ruang berubah. Gelap. Sunyi. Tak ada lagi dunia. Hanya bayangan dirinya sendiri terpantul jutaan kali, memandangnya balik tanpa mata.
Dan dari dalam kegelapan, terdengar suara lirih.
"Tempat perlindungan yang kau cari… tak pernah jauh darimu. Tapi kau harus melewati kehilangan terlebih dahulu."
Bunga menjerit. Tapi tidak ada suara yang keluar.
---
Bunga terbangun dalam ruangan gelap. Ia berbaring di atas lantai batu dingin, lembab, dan beraroma logam. Di sekelilingnya berdiri dinding-dinding tanpa jendela, hanya satu cermin besar di depan sama seperti yang ia lihat di rumah kayu itu.
Ia berdiri, kakinya gemetar. Tubuhnya masih menggigil bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Lalu… suara itu datang lagi.
"Bunga… kau ingin perlindungan, tapi belum mengenal dirimu sendiri."
Cermin di depannya bergetar… dan dari dalamnya, muncul bayangan bunga ,tapi bukan seperti dirinya sekarang. Ia tampak lebih tua, matanya penuh duka, dan di lengannya... ada luka-luka.
“Aku… siapa kamu?” tanya bunga pelan.
“Aku adalah dirimu… yang akan kau temui jika kau tak pernah berhenti lari,” jawab bayangan itu. “Kau mencari tempat berlindung di luar… padahal yang mengejarmu selalu ada di dalam.”
Bungapun mundur. Tapi ruangan itu menyempit, dinding bergerak, mendorongnya ke arah cermin. Ia memejamkan mata, mencoba kabur, tapi setiap langkah membawa dia kembali ke titik awal.
Kemudian, terdengar suara tangisan… suara anak kecil.
Bunga menoleh. Di sudut ruangan kini ada sesosok anak perempuan kecil, memeluk boneka lusuh.
“Itu adikmu,” bisik suara dalam cermin. “Ingat?”
Bunga tertegun. Ia dulu pernah punya adik, tapi meninggal karena demam tinggi saat bunga bermain terlalu jauh ke hutan, meninggalkannya sendiri. Rasa bersalah itu dikuburnya bertahun-tahun.
“Aku… aku hanya ingin mencari tempat aman,” isaknya.
“Tapi kau belum mengampuni dirimu sendiri.”
Tiba-tiba, anak kecil itu mendekat dan memeluk bunga. Saat itulah, ruangan yang gelap dan sempit itu mulai retak, seperti kaca dihantam palu dari dalam.
Bunga jatuh terduduk. Cahaya mulai menembus dari sela-sela retakan.
Namun di saat itulah, suara yang lebih gelap menggema...
"Jika kau ingin keluar, bayarannya adalah satu kenangan: yang paling kau sayangi."
Dan di hadapannya, muncul gambaran ibunya… tersenyum, membelai rambutnya seperti dulu.
Bunga dihadapkan pada pilihan: keluar dari ruang ini, tapi harus melupakan ibunya selamanya… atau tetap terjebak bersama bayangannya sendiri.
Tangis bunga pecah.
Bunga berdiri mematung, di hadapannya pantulan ibunya yang tersenyum sendu. Suara di sekelilingnya terus memaksa:
"Lupakan dia... dan kau akan bebas."
Tangannya gemetar. Kenangan tentang ibunya cara ia menyisir rambut Bunga. saat kecil, suara lembutnya membacakan doa sebelum tidur, dan pelukan hangat setiap kali Bunga ketakutan semuanya menyeruak dalam satu putaran emosi yang nyaris meledak.
“Tapi... kalau aku lupakan dia… siapa aku?” gumam Bunga lirih.
Di saat itulah, suara baru terdengar. Lembut, seakan keluar dari dalam dadanya sendiri.
"Kau tidak perlu melupakan… kau hanya perlu menerima."
Pantulan ibunya mulai pudar, berubah menjadi cahaya. Cermin itu retak… tapi tidak hancur. Justru dari retakannya, tumbuh ranting-ranting kecil bercahaya, seperti akar yang menjalar mencari kehidupan.
Bunga memejamkan mata. Ia menarik napas panjang untuk pertama kalinya, bukan karena ketakutan, tapi karena keberanian.
Ketika membuka mata, ia sudah tidak berada di ruangan itu lagi.
Ia kini berada di tengah hutan, tapi bukan hutan yang mencekam. Udara lembut berembus. Cahaya jingga sore menyelusup dari sela pepohonan. Di hadapannya, ada jalan setapak tanah liat berwarna kemerahan. Sepi. Sunyi. Tapi damai.
Langkah kakinya pelan tapi pasti. Tak ada yang membimbing. Tak ada yang menunggu. Tapi di hatinya, ia tahu jalan ini bukan untuk lari, tapi untuk pulang… kepada dirinya sendiri.
Langit mulai gelap. Tapi kini Bunga tak takut lagi.
Ia menatap langit dan berbisik,
"Aku tidak lagi mencari tempat perlindungan… karena perlindungan itu ada dalam diriku sendiri."
Langit malam menaungi langkah Bunga. Kabut kembali turun, tapi kali ini tidak mencekam. Justru seperti selimut tipis yang menenangkan. Di ujung jalan tanah, ia melihat sebuah pohon besar menjulang lebih tinggi dari semua yang pernah ia lihat. Rantingnya berpilin ke langit, dan di bawahnya duduk sosok berjubah hitam… diam.
Bunga mendekat perlahan. Sosok itu tidak bergerak. Hanya suara lirih terdengar dari balik tudung jubahnya.
"Akhirnya kau sampai juga."
“Siapa kamu?” tanya Bunga, nyaris berbisik.
"Aku adalah bagian dari dirimu yang selama ini kau tolak… bagian yang kau anggap lemah, takut, penuh luka. Tapi aku tetap menunggumu."
Bunga terpaku. Sosok itu lalu membuka tudungnya perlahan. Dan di baliknya wajahnya sendiri. Tapi bukan dirinya yang sekarang. Ini wajahnya saat kecil, saat ia menangis di tengah malam tanpa ibu. Wajahnya saat ia ketakutan sendirian. Wajah yang ia kubur dalam diam selama bertahun-tahun.
Bunga meneteskan air mata.
"Aku pikir… aku harus kuat. Tidak boleh rapuh. Tidak boleh menangis…”
"Tapi justru karena kau menangis, kau bisa bertahan. Karena kau rapuh, kau jadi tahu kapan harus mencari perlindungan. Dan sekarang, kau sudah tahu... bahwa yang rapuh bukan berarti lemah."
Pohon besar itu mengeluarkan cahaya dari batangnya. Seolah mengerti bahwa pertemuan batin telah terjadi.
Sosok kecil Bunga berjalan mendekat… lalu memeluknya.
Dan dalam pelukan itu, semua rasa yang pernah ia tahan marah, takut, sedih, rindu mencair menjadi satu: penerimaan.
Langit malam berubah menjadi cahaya bintang.
Bunga berdiri di bawah pohon raksasa, masih memeluk versi kecil dari dirinya sendiri. Cahaya hangat menyelusup ke kulitnya, menembus pori-pori luka yang dulu ia sembunyikan. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu dalam dirinya… tumbuh.
Sosok kecil itu berbisik di telinganya,
"Kini kau tak butuh aku lagi… karena aku sudah jadi bagian dari dirimu."
Dan saat ia melepaskan pelukan itu, tubuh kecil itu menyatu dengan Bunga. Ada cahaya yang meledak dari dalam dadanya bukan cahaya yang menyilaukan, tapi yang membuat segala ketakutan tercerai.
Di hadapannya, hutan yang tadinya misterius perlahan berubah. Ranting-ranting tak lagi menjulang angkuh, tapi membentuk lengkungan seolah mengantar. Kabut menipis. Di kejauhan, tampak siluet sebuah rumah.
Tapi ini bukan rumah dari luar. Bukan rumah perlindungan seperti yang dulu ia cari. Rumah ini tumbuh dari tanah… dari dalam jiwanya sendiri.
Langkahnya ringan. Ia berjalan mendekat. Tidak lagi bertanya siapa yang membangun rumah itu. Karena jawabannya jelas: ia sendiri.
Di dalam rumah itu, tak ada barang mewah. Hanya dinding kayu, aroma tanah, dan cermin kecil yang menggantung di pojok ruangan. Bunga menatap cermin itu kali ini dengan tenang.
Pantulannya tersenyum. Bukan bayangan, bukan luka. Tapi seorang perempuan yang kembali utuh.
Ia duduk di ambang jendela rumah itu. Angin malam menerpa wajahnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bunga tak mencari siapa pun untuk memeluk… karena ibu nya masih terbaring tidur tepat di samping nya dan ia sudah menemukan pelukan itu dalam dirinya sendiri.
TAMAT.