Rabu, 18 Juni 2025

NYALA KECIL DI UJUNG SENJA

Di saat langit mulai lelah
Ada cahaya kecil yang tetap menyala,
Meski angin mencoba memadamkannya
Ia bertahan… seperti harapan di ujung do'a.

Langkah-langkahku mungkin terseok
Jalanan gelap, kadang tak terlihat arah
Namun cahaya itu tak pernah hilang
Ia tinggal diam, tapi tak pernah pasrah.

Bukan terang yang membutakan
Tapi hangat yang menguatkan
Seperti bisikan pelan dalam harap
Yang tak terdengar, tapi tak pernah hampa.

Aku pernah hampir menyerah,
Tenggelam dalam sepi dan gelisah
Tapi harapan itu datang diam-diam
Menyentuh jiwaku... membisikkan "jangan".

Dan di malam paling pekat
Saat dunia tampak begitu berat
Harapan itu tetap bertahan
Seperti bintang… menolak padam.

Sabtu, 14 Juni 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.6

Kemeja, sepatu hasil menyisihkan makan seminggu. Di tangan kanannya, map plastik yang sudah kusam. Tapi di hatinya, harapan masih bersinar, walau redup oleh kenyataan.

Hari itu, dia berdiri di depan gedung bertingkat yang asing. Bukan hanya dinding kacanya yang dingin… tapi juga wajah-wajah yang berlalu lalang, seakan semua terburu waktu, dan tak satu pun yang menoleh padanya.

Setelah antre panjang dan ditanya macam-macam, ia hanya bisa menunduk saat HRD berkata,
"Maaf, kami mencari yang sudah berpengalaman."

Sore itu dia duduk di tepi trotoar. Tangannya menggenggam map yang kini mulai lembap oleh peluh dan air mata yang tak sengaja jatuh. Tapi dia tahu:
"Malu bukan alasan untuk pulang, gagal bukan tanda untuk menyerah."

Di benaknya, wajah Ibu yang tersenyum meski letih, dan suara Ayah yang selalu bilang:
"Tak apa lambat, asal tetap melangkah."


---


Malam itu, dia kembali ke kamar kos sempitnya. Dindingnya kayu lapuk, kipas angin tua menggerung pelan di atas kepala. Tapi justru di sunyi begini, suara masa lalu terdengar paling jelas.

Dia menyalakan lampu temaram, membuka map lusuhnya, lalu mengambil selembar kertas. Tangannya gemetar tapi tetap menulis. Surat itu bukan untuk perusahaan, bukan juga untuk orang lain.
Itu… untuk dua hati yang selalu jadi alas langkahnya: Ayah dan Ibu.


---

“Ayah, Ibu…
Hari ini aku gagal lagi.
Bukan karena aku tak mampu, tapi karena dunia ini belum siap melihat seberapa keras aku ingin berhasil.
Tapi tenang, aku tidak akan pulang dengan tangan kosong.
Doa kalian terlalu mahal untuk aku tukar dengan menyerah.
Biar aku tetap berjalan, biar aku tetap mencoba.
Aku janji, satu hari nanti, kalian akan duduk di beranda rumah sendiri bukan lagi rumah kayu tua, tapi rumah yang anakmu bangun dari doa dan peluhnya sendiri."


Air mata menetes di ujung huruf terakhir. Tapi senyumnya terbit perlahan. Karena ia tahu: meski gelap, arah masih ada.


Bersambung....

Kamis, 12 Juni 2025

TERSESAT DI UJUNG PENANTIAN

Langit sore itu menggurat jingga pucat. Udara terasa ganjil, seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku berdiri di persimpangan jalan yang tak tercatat di peta mana pun, menatap setapak sunyi yang memanjang entah ke mana ujungnya. Tak ada petunjuk arah, hanya rerimbun ilalang, pohon tua yang diam menatapku, dan desir angin yang membawa bisikan asing.

Aku tak pernah berniat tersesat. Tapi hidup, seperti jalan ini, kadang membawa kita menjauh dari yang kita tahu, dari yang kita yakini sebagai rumah.

Langkahku gemetar, bukan karena takut, tapi karena keraguan yang tak pernah selesai kujinakkan. Aku tak tahu apakah jalan ini akan membawa pulang, atau justru menjauhkan segalanya. Tapi entah kenapa, aku tetap melangkah.

Barangkali, dalam setiap jalan yang tampak buntu, ada makna yang menunggu untuk dipahami.

Sabtu, 07 Juni 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.5

Ibu masih memegang erat surat dari anaknya. Tapi matanya mulai menerawang, menembus jendela rapuh penuh kenangan. Di dalam benaknya, bayangan masa muda pun hadir perlahan…

Dulu, sebelum mereka menjadi orang tua, mereka juga dua anak muda biasa yang saling mencinta. Tak ada tukang pos Yang ada hanya secarik surat, yang disisipkan di pagar bambu tua.

Suaminya, yang kini berdiri di belakangnya dengan tangan di punggung, ikut tenggelam dalam kenangan. Ia tersenyum kecil, lalu berkata pelan:

"Inget gak, Bu… waktu aku tulis surat yang selipkan di celah pagar dulu, nulisnya pakai bolpen pinjem, nempel di bungkus nasi?"

Ibu tertawa kecil, air mata belum sempat kering.
"Dan kamu lupa nulis nama. Aku tebak dari tulisan miringmu yang jelek itu."

Tawa mereka lirih, tapi hangat. Meja kayu yang sama, tempat mereka dulu membaca surat cinta, kini menjadi tempat mereka membaca surat dari anak mereka. Waktu memang berjalan, tapi rasa… tetap tinggal.

Di sebuah kotak tua, tersimpan rapi surat-surat mereka dulu. Tulisannya sudah pudar, tapi isi hati yang tertuang di dalamnya masih jelas, seperti baru kemarin ditulis. Saat ibu membuka kotak itu, secarik kertas kecil jatuh:

"aku pengin dia tahu kita saling sayang bukan dari uang… tapi dari kata-kata."

Kini anak mereka pun menulis… dengan kata-kata yang penuh rindu. Dan mereka tahu, cinta yang dulu mereka tanam perlahan mulai berbuah.


---
Untuk Ayah dan Ibu,

Aku harap surat ini sampai ke tangan kalian tanpa membuat air mata menetes terlalu banyak. Meski aku tahu, surat dari anakmu ini… tak pernah benar-benar kering membacanya.

Ayah, Ibu…
Terima kasih sudah mengajarkanku bahwa menjadi kuat bukan soal menahan tangis, tapi soal tetap berjalan meski hati berat. Dulu aku menulis surat ini dengan tangan kecilku, menceritakan betapa aku ingin membuat kalian bangga. Sekarang, aku menulis sebagai lelaki muda yang mulai sadar… ternyata hidup di kota tidak sesederhana mimpi-mimpi yang kubawa dari desa.

Aku masih tinggal di kamar sempit, ibu. Tapi setiap malam aku menatap langit dari celah jendela yang retak, membayangkan wajah kalian di balik rembulan. Ayah… aku tahu punggungmu sudah tak sekuat dulu, dan Ibu… kau masih bangun lebih pagi dari matahari. Kadang aku ingin pulang, hanya untuk cium tangan kalian dan bilang: “Aku belum berhasil, tapi aku sedang berusaha.”

Aku ingat warung kecil kalian dulu… tempat kalian menabung harapan dari setiap sendok kopi yang dijual. Sekarang aku paham… itu bukan soal dagang, tapi soal bertahan hidup dengan cinta yang tidak pernah kalian sebut, tapi selalu aku rasakan.

Doakan aku terus ya, Ayah, Ibu. Doakan agar langkah ini tak goyah. Aku janji, bukan hanya akan membanggakan kalian dengan hasil… tapi juga dengan cara aku menjalaninya. Pelan, tapi pasti.

Salam rindu dari jauh,
Anakmu yang sedang belajar jadi laki-laki 


"Ini bukan akhir dari rindu yang mencabik di tiap sunyi nya malam,
melainkan langkah pertama dari perjalanan panjang
yang di tempuh dengan dada yang rapuh namun tekad yang utuh,
menuju pelukan hangat yang dulu kusebut rumah."

Bersambung.....

Jumat, 06 Juni 2025

AMARAH JIWA YANG KOSONG

Hari-hari ketika manusia berjalan tanpa peta.
Mereka melangkah, tapi tak tahu menuju ke mana.
Mereka tersenyum, tapi tak tahu untuk siapa.
Mereka bekerja, mencintai, bertahan...
tapi di balik semua itu, ada ruang kosong yang menganga dalam dada.

Di tengah hiruk pikuk dunia, suara hati mereka makin samar,
seperti bisikan angin di tengah badai.
Mereka dulu punya mimpi,
dulu punya nyala yang membakar mata,
tapi perlahan, mimpi itu dikebiri oleh rutinitas,
oleh keharusan yang dipaksa dunia,
oleh ketakutan akan kekurangan.

Mereka lupa kenapa dulu berlari,
lupa kenapa dulu bersumpah pada diri sendiri.
Yang tersisa hanya tubuh yang berjalan otomatis,
dan hati yang kadang berteriak lirih dalam sepi.

Tapi, sesekali...
di antara gerimis malam atau sepotong senyum asing,
mereka mendadak teringat:
bahwa hidup bukan sekadar bergerak.
Bahwa ada alasan kenapa mereka pernah memulai.
Dan dalam sekejap, langkah kecil itu terasa berarti kembali,
walau dunia tetap bising,
walau hati tetap retak.

Mereka adalah kita.
Yang berjalan, jatuh, lupa...
lalu belajar untuk ingat lagi.


Mereka yang berjalan dengan mata kosong,
menyusuri lorong-lorong hidup tanpa arah,
menggenggam mimpi yang telah membusuk di telapak tangan.

Mereka tertawa di atas reruntuhan harapan,
berpesta di antara bangkai janji-janji lama,
menyeka air mata dengan tangan yang dipenuhi debu penyesalan.

Mereka pernah punya tujuan,
pernah bersumpah di bawah bintang,
pernah berteriak menantang langit.
Tapi kini, langit itu bisu,
dan mereka lupa bahkan pada suara mereka sendiri.

Mereka berlari bukan untuk sampai,
tapi karena takut diam berarti mati.
Mereka mencintai bukan untuk hidup,
tapi karena takut sendirian di dalam kubur sunyi bernama waktu.

Setiap malam,
mereka berbicara pada bayang-bayang sendiri,
bertanya tanpa berharap jawaban.

"Mengapa aku berjalan?"
"Untuk siapa aku bertahan?"
"Apakah masih ada tujuan, atau hanya sisa nafas yang belum mau padam?"

Dalam dunia di mana cahaya hanya janji yang dikubur terlalu dalam,
mereka terus melangkah,
mengukir jejak di tanah yang bahkan tidak mengingat nama mereka.


Namun dalam lubang terdalam dada mereka,
masih ada bara kecil yang membangkang.
Sekarat, mengerang, tapi tak mau padam.

Bara itu menggeliat,
menyakitkan,
seperti belati yang diputar perlahan dalam dada,
mengingatkan bahwa mereka dulu bukan hanya tubuh berjalan,
bukan hanya boneka tua yang dikendalikan jam.

Suatu malam, ketika dunia terlelap dalam pelukan palsu,
salah satu dari mereka terbangun,
menatap langit hitam yang tak lagi berjanji apa-apa,
dan berbisik dengan suara parau:

"Aku bukan milik dunia ini."
"Aku bukan mesin yang dibangun untuk lupa."

Lalu dengan langkah gemetar,
mereka mulai mencari:
bukan mencari jalan pulang,
bukan mencari kemenangan,
tetapi mencari dirinya sendiri
yang pernah terkubur hidup-hidup di bawah puing waktu.

---

Setiap tetes darah, setiap luka,
adalah bukti bahwa jiwa ini pernah melawan,
dan mungkin,
masih cukup hidup untuk bertanya lagi:

"Apa arti berjalan?"
"Apa arti bertahan?"

             "Di mana cahaya tak lagi dijanjikan,
di situlah langkahku jadi tanpa arti.
Aku lupa 
bukan karena tak peduli,
tapi karena dunia terlalu bising
untuk mendengar suara hatiku sendiri",

             "Ada bara yang menggerutu dalam dada,
menolak mati meski dunia memaksanya.
Ia tak nyala, tak padam,
hanya menunggu aku
untuk percaya bahwa aku masih bisa terbakar",

              "Bukan kemenangan yang kucari,
melainkan arti dari luka yang tak pernah sembuh.
Jika hidup hanyalah jalan tanpa ujung,
biarlah aku jadi jejak
yang tak pernah dilupakan tanah".

Minggu, 01 Juni 2025

JIWA YANG TERUS TUMBUH...eps.4

---
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika ia berdiri di depan rumah kayu itu. Sebuah tas sederhana menggantung di pundaknya isinya tak banyak, hanya pakaian secukupnya, buku-buku usang, dan sebungkus nasi yang dibungkus daun pisang buatan ibu.

Ibu berdiri di ambang pintu, matanya sembab meski berusaha tersenyum.

“Jangan khawatir soal kami di sini,” kata ayah pelan, “di tanah ini kami sudah terbiasa sendiri. Tapi kamu... kamu harus pergi untuk tahu bagaimana dunia di luar sana.”

Anak itu hanya mengangguk. Tak sanggup berkata-kata. Di dalam dirinya, ada gempuran rasa: senang karena diberi kesempatan, takut meninggalkan yang ia cintai, dan cemas pada dunia yang belum pernah ia lihat.

Sebelum melangkah, ibu memeluknya dari belakang. Pelukan itu seperti pelukan terakhir erat, lembut, penuh makna.

“Nak… jangan lupa dari mana kamu berasal. Dunia bisa besar, bisa membuatmu lupa arah… tapi hati yang kuat akan selalu pulang.”

Mobil putih itu akhirnya tiba. Ia menoleh ke orang tuanya. Ayah mengangguk dengan tatapan yang bicara lebih dari seribu kata. Ibu hanya menggenggam tangannya erat lalu melepaskannya perlahan.

Dan saat mobil mulai bergerak, ia menatap kaca belakang. Rumah kayu itu makin kecil… makin jauh… tapi di hatinya, itu adalah satu-satunya tempat yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.

---

Sejak kepergian anaknya, dapur itu tak lagi sama. Dinding kayu yang dulu penuh tawa kecil kini hanya memantulkan suara angin dan nyanyian kompor tua.

Ibu berdiri di sana seperti biasa mengulek sambal, menanak nasi, memasak sayur kesukaan anaknya yang kini hanya tersaji di meja tanpa tuan. Tangannya bergerak, tapi hatinya tertinggal di pagi itu… pagi terakhir saat sebuah pelukan kecil menyusup dari belakang, hangat, tulus, dan diam-diam membuatnya ingin waktu berhenti.

Kini tak ada lagi suara,
“Bu, aku bantu ya...”
Atau,
“Bu, hari ini kita makan pakai ikan asin, ya?”

Setiap suara langkah di halaman membuatnya menoleh. Siapa tahu… siapa tahu itu dia. Tapi yang datang hanya angin, menyusup membawa harapan yang belum kembali.

Ayah berusaha tegar, meski ia tahu istrinya sering menyeka air mata diam-diam, berpura-pura kelilipan bawang.

Malamnya, di pembaringan, ibu menggenggam kain sarung bekas anaknya. Menciumnya perlahan, seperti ingin menambal rindu yang tak pernah bisa utuh kembali.

“Semoga kau baik-baik saja di sana, Nak... Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang...”

---

Ibu tersentak saat melihat amplop lusuh yang diselipkan oleh tukang pos sore itu. Tulisannya tak rapi, huruf-hurufnya agak gemetar… tapi ia langsung tahu, ini dari anaknya.

Dengan tangan bergetar, ia duduk di kursi bambu depan dapur, membuka perlahan dan membaca dalam hening:


---

Untuk Ibu dan Ayah,
di rumah yang paling aku rindukan...

Ibu, Ayah…
Maaf baru bisa kirim kabar sekarang. Di sini semua terasa asing. Kota ini besar… tapi rasanya dingin, bukan karena angin, tapi karena tak ada suara Ibu memanggil dari dapur, tak ada Ayah yang duduk di kursi depan sambil membetulkan sepeda.

Aku belajar banyak di sini. Tapi sering kali aku lupa makan karena tak ada yang mengingatkan. Aku juga tak pernah lagi merasa senyaman waktu kita makan bareng di lantai rumah pakai tangan, rebutan sambal, dan tertawa.

Kadang aku menangis diam-diam di kasur kecilku. Rasanya seperti ada lubang di hati. Bukan karena sakit… tapi karena rindu.

Ibu,
Aku kangen masakan Ibu… kangen pelukan Ibu waktu aku takut. Dan Ayah… aku tahu Ayah mungkin gak bilang, tapi aku yakin Ayah juga sering lihat ke jalan berharap aku muncul.

Aku di sini baik-baik saja, Bu. Ayah. Tapi aku belum bisa jadi apa-apa. Belum bisa belikan Ibu kompor baru atau sepeda buat Ayah. Tapi aku janji… aku akan terus belajar. Supaya suatu hari, kita bisa duduk lagi bareng di dapur kayu itu, tanpa rasa cemas tentang besok.

Peluk aku dari jauh ya, Bu. Titip salam juga buat ayam kita, dan suara kodok malam yang selalu aku rindukan dan suara aneh", di setiap tengah malam juga.

Anakmu, yang tidak pernah lupa rumah.

---

Air mata ibu jatuh satu per satu ke kertas itu. Dipegangnya erat, dekat ke dadanya, seperti memeluk anaknya lewat tulisan.

Ayah datang, membaca surat itu diam-diam dari balik bahu istrinya… dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia menyeka air mata tanpa rasa malu.


Bersambung...

REL KERETA TUA

Kereta itu melaju tanpa suara,
Menembus senja yang mengaburkan mata.
Tiupan angin yang membawa debu kenangan,
Mengukir rindu yang tak pernah terucap.

Malam datang pelan, membawa beban,
Setiap derap langkah dalam kesendirian.
Dingin yang menusuk ke dalam hati,
Mengingatkan aku pada sesuatu yang hilang di ujung rel.

Tiada kata, hanya isyarat,
Hanya hembusan angin yang menyapa sepi.
Kereta itu terus berjalan,
Dan aku mengikuti jejaknya, tanpa tahu arah.

Entri yang Diunggulkan

NYALA KECIL DI UJUNG SENJA

Di saat langit mulai lelah Ada cahaya kecil yang tetap menyala, Meski angin mencoba memadamkannya Ia bertahan… seperti harapan di ujung do...

Postingan Populer

💜