Di tengah malam yang sepi, gelap menggulung sunyi, lelaki itu tampak gelisah seakan ada sesuatu yang menggantung dalam lamunannya. Langkah kakinya menyusuri jalanan yang basah oleh embun, tanpa arah pasti, hanya ditemani desir angin dan bayang-bayang masa lalu yang enggan pergi. Ia bukan pengejar mimpi, bukan pula pelari dari kenyataan, melainkan seorang pengembara yang mencari arti, tentang siapa dirinya sebenarnya, dan ke mana harus ia tuju di dunia yang kian asing ini.
“Aku tak tahu ke mana arah ini membawaku… tapi aku tak bisa lagi diam di tempat.”
Sesekali ia menatap langit, berharap bintang-bintang memberi petunjuk, namun malam hanya menyuguhkan kelam. Dalam hatinya, ada kerinduan yang tak ia mengerti, ada luka yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya penuh tanya yang tak mendapat jawaban, dan dirinya terasa seperti bayang-bayang yang kehilangan tubuh.
“Adakah yang mendengarkan hatiku... atau memang aku harus terus bicara pada sunyi?” gumam nya,"
Setiap langkahnya adalah pertaruhan antara harap dan putus asa. Tapi lelaki itu tetap melangkah, karena berhenti justru membuatnya lebih tersesat. Ia tahu, perjalanan ini bukan soal sampai, tapi soal mengenali suara yang paling jujur di dalam diri. Dan selama suara itu belum jelas terdengar, ia akan terus berjalan, menyusuri sunyi, menggenggam sepi, dan menyulam makna dari setiap luka yang pernah ia lewati.
“Mungkin aku belum tahu siapa aku... tapi aku yakin, aku bukan yang dulu lagi.”
Sebelum langkah-langkah pengembaraannya dimulai, lelaki itu pernah hidup dalam gelap yang lebih pekat dari malam. Masa lalunya bergelimang dosa, bukan karena ia bangga, tapi karena ia tersesat terlalu lama dalam gemerlap semu yang menyesatkan. Ia pernah menjadi budak egonya sendiri, menukar nurani dengan kesenangan sesaat, mengabaikan suara hati demi sorak dunia yang hampa makna.
“Dulu aku tertawa... tapi hatiku menangis dalam diam.”
Ia tahu betul rasanya terjaga di pagi hari dengan dada sesak, dikejar bayang kekecewaan yang menolak padam. Wajah-wajah yang dulu ia pernah kasihi, kini tinggal janji-janji yang di khianati, dan ketulusan yang ia berikan, semua itu datang menghantui setiap kali ia mencoba tertidur. Ia pernah terbawa di kubangan lumpur neraka, gemerlap lampu dosa di salah satu sudut kota, hanya untuk menyadari kemudian bahwa kebahagiaan semacam itu tak pernah abadi, dan yang tersisa hanyalah kehampaan yang menggigit pelan-pelan dari dalam.
“Aku hidup... tapi tak benar-benar merasa hidup.”
Namun suatu malam, ketika dunia terasa begitu diam dan hatinya begitu bising, ia mendongak ke langit. Angin semilir menyentuh wajahnya lembut, seolah ada yang membisikkan bahwa sudah waktunya pulang bukan ke tempat, tapi ke dalam diri. Di bawah langit penuh bintang, ia bersujud dalam diam, menitikkan air mata yang selama ini ia tahan. Untuk pertama kalinya, ia berdoa bukan untuk meminta, tapi untuk memohon ampun.
“Tuhan… jika aku masih Kau beri waktu, tuntun aku untuk pulang, bukan sekadar kembali, tapi kembali menjadi manusia yang ikhlas.”