Kemeja, sepatu hasil menyisihkan makan seminggu. Di tangan kanannya, map plastik yang sudah kusam. Tapi di hatinya, harapan masih bersinar, walau redup oleh kenyataan.
Hari itu, dia berdiri di depan gedung bertingkat yang asing. Bukan hanya dinding kacanya yang dingin… tapi juga wajah-wajah yang berlalu lalang, seakan semua terburu waktu, dan tak satu pun yang menoleh padanya.
Setelah antre panjang dan ditanya macam-macam, ia hanya bisa menunduk saat HRD berkata,
"Maaf, kami mencari yang sudah berpengalaman."
Sore itu dia duduk di tepi trotoar. Tangannya menggenggam map yang kini mulai lembap oleh peluh dan air mata yang tak sengaja jatuh. Tapi dia tahu:
"Malu bukan alasan untuk pulang, gagal bukan tanda untuk menyerah."
Di benaknya, wajah Ibu yang tersenyum meski letih, dan suara Ayah yang selalu bilang:
"Tak apa lambat, asal tetap melangkah."
---
Malam itu, dia kembali ke kamar kos sempitnya. Dindingnya kayu lapuk, kipas angin tua menggerung pelan di atas kepala. Tapi justru di sunyi begini, suara masa lalu terdengar paling jelas.
Dia menyalakan lampu temaram, membuka map lusuhnya, lalu mengambil selembar kertas. Tangannya gemetar tapi tetap menulis. Surat itu bukan untuk perusahaan, bukan juga untuk orang lain.
Itu… untuk dua hati yang selalu jadi alas langkahnya: Ayah dan Ibu.
---
“Ayah, Ibu…
Hari ini aku gagal lagi.
Bukan karena aku tak mampu, tapi karena dunia ini belum siap melihat seberapa keras aku ingin berhasil.
Tapi tenang, aku tidak akan pulang dengan tangan kosong.
Doa kalian terlalu mahal untuk aku tukar dengan menyerah.
Biar aku tetap berjalan, biar aku tetap mencoba.
Aku janji, satu hari nanti, kalian akan duduk di beranda rumah sendiri bukan lagi rumah kayu tua, tapi rumah yang anakmu bangun dari doa dan peluhnya sendiri."
Air mata menetes di ujung huruf terakhir. Tapi senyumnya terbit perlahan. Karena ia tahu: meski gelap, arah masih ada.
Bersambung....