Hari itu panas, seperti hari-hari lainnya di kota. Ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu proyek ke proyek lain. Bertanya, mengajukan diri, kadang cuma dijawab gelengan kepala, kadang bahkan tak dipandang sama sekali. Tapi dia masih terus melangkah.
Sampai sore datang, dan matahari mulai meredup,..
Kabar itu dari desa.
Salah satu teman nya menyodorkan hp nya
Pesan yang membuat kakinya lemas, dan tubuhnya nyaris rebah di trotoar:
“Nak, Ayahmu telah pergi. Pulanglah…”
Seolah waktu berhenti. Suara kota menghilang. Hanya sisa detak jantung yang menghantam di dada, dan tangis yang tertahan di tenggorokan.
Tak ada uang di dompet. Tapi tak mungkin tidak pulang.
Dia menjual jam tangan satu-satunya—pemberian ayahnya dulu. Dia naik bus malam dengan tubuh menggigil dan mata sembab. Dalam gelapnya jalanan, ia menatap keluar jendela, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tak pernah merasa sepenuh ini… kehilangan.
---
Saat fajar menyapa desa kecil itu, ia melangkah pelan ke halaman rumah. Masih sama: kayu lapuk, bau tanah basah, dan suara tangis Ibu yang mengoyak pagi.
Di depan rumah, terbaring sosok paling berjasa dalam hidupnya Ayah, yang dulu selalu berkata:
"Tak perlu jadi hebat, cukup jadi anak yang tak mudah menyerah."
Tapi kini...
Ia tak lagi bisa mendengar itu langsung.
---
Pagi itu tak seperti biasanya. Tidak ada suara batuk Ayah dari kamar belakang, tak ada aroma kopi buatan tangannya, tak ada langkah pelan menyusuri lantai kayu yang sudah berderit dimakan usia.
Ibu duduk di kursi tua dekat jendela. Tatapannya kosong menembus sela-sela kayu, menatap sawah yang dulu menjadi tempat tawa mereka bermula. Tangannya memegang secangkir teh, tapi tak pernah tersentuh bibir. Ia hanya diam, seperti ingin berbicara dengan angin, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
“Apa kabar kamu di sana, Pak…”
Bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Di meja kayu itu, masih ada kain yang belum sempat dijahit. Masih ada toples gula yang tinggal separuh. Masih ada sendok yang biasanya dia bagi berdua.
Tapi kini semua hanya milik satu orang.
“Dia pulang, Pak… anak kita.”
Air matanya jatuh, menetes di punggung tangan yang masih bergetar.
“Tapi kamu gak bisa lihat… kamu gak bisa peluk dia.”
Ibu menoleh ke arah kamar, tempat anaknya tidur dengan wajah pucat dan mata bengkak.
“Dia butuh pelukmu… bukan hanya pelukku.”
Malamnya, Ibu duduk sendirian di ranjang yang dulu selalu sempit karena tawa mereka. Ia membuka kotak kayu di pojok lemari berisi surat-surat lama. Surat dari Ayah. Surat dari masa muda, saat mereka saling menunggu di pematang sawah, saat hujan masih jadi alasan untuk saling mengirim rindu.
Kini, surat-surat itu jadi satu-satunya yang bisa menjawab rindu yang tak bisa dikirim kembali.
Bersambung....